Oleh : Ahmad
Mustaghfirin
Pendahuluan
Pendahuluan
Zaman
terus berkembang dan waktu selalu berputar serta tahun semakin bertambah. Membicarakan pesantren tak pernah kering dari otak
pemikiran para pegiat intelektual baik muda maupun tua. Pesantren yang
merupakan sistem pendidikan tertua sering dikonotasikan sebagai sekelompok kaum
sarungan yang tradisional, kolot, yang hanya bisa baca kitab kuning dan
ceramah tang tung-tang tung dan cas cis cus dari satu surau ke
surau dan dari masjid satu ke masjid yang lain ternyata menyimpan banyak
potensi. Keberadaannya tidak boleh dianggap sepele, dan
sampai sekarang pun tetap eksis walaupun sempat termarjinalkan dan gelombang
globalisasi menerjang. Bergulirnya era globalisasi justru dijadikan cambuk bagi
pesantren untuk berbenah diri agar tetap mampu memposisikan diri sebagai penopang
bangsa.
Ditengah-tengah zaman dimana
mentalitas dan moralitas anak bangsa mengalami penurunan akibat dari masa
globalisasi tersebut, Pendidikan Nasional belum mampu untuk membenahi dan
menjawabnya. Dengan demikian, bangsa Indonesia memerlukan sebuah lembaga
pendidikan yang bisa menjawabnya. Oleh karena itu, satu-satunya jalan cepat
untuk membangkitkan umat dari keterbelakangan ini adalah optimalisasi sektor
pendidikan, dan lembaga pendidikan tersebut adalah pesantren.[1]
Namun, sejak pengakuan dengan keluarnya surat keputusan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 2001 sampai saat ini, perhatian pemerintah terhadap lembaga pendidikan
yang mampu dan sudah teruji kiprahnya ini masih setengah hati walaupun
pengakuannya sudah berusia kurang lebih delapan Tahun.[2]
Dengan demikian, pesantren masih bisa dibilang representatif yang tentunya
bukan hanya sekedar mampu bertahan namun juga sanggup bersaing dan menang dalam
era globalisasi ini.
Oleh karena itu, bagaimanakah pesantren dalam menjaga
otonominya, identitas dirinya, dan semangat tradisionalnya ketika berhadapan
dengan kerasnya persaingan hidup pada era millennium III ini, serta implikasi
globalisasi dan respon pesantren dalam mengantisipasi peran-peran sosial-budaya
dalam era globalisasi ini.
Selayang Pandang Istilah Pesantren
Secara
etimologi, istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an yang dengan awalan pe- dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri.
Sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia ke arah
yang baik.[3] Sementara menurut Profesor Johns sebagaimana yang dikutip
oleh Dhofier menyebutkan bahwa, istilah "santri" berasal dari bahasa
Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan C C Berg berpendapat bahwa istilah
tersebut berasal dari istilah shastri yang
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau
seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra
yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang
ilmu pengetahuan.[4] Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian
seorang murid yang belajar buku-buku suci/ilmu-ilmu pengetahuan Agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai
pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dengan demikian, pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya interaksi
guru murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam rangka
transferisasi ilmu-ilmu keislaman. Menurut
Nurcholis Madjid, secara histori pesantren tidak hanya identik dengan makna
keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia.[5]
Pondok pesantren secara definitif tidak dapat
diberikan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian
yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi
pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit, karena masih meliputi
beberapa unsur untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif. Dengan demikian sesuai dengan arus
dinamika zaman, definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah
pula. Kalau pada tahap awalnya pesantren diberi makna dan pengertian sebagai
lembaga pendidikan tradisional, tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga
pendidikan tradisional tidaklah selamanya benar.
Pesantren merupakan sumber inspirasi yang tidak
pernah kering bagi para pencinta ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai
anatominya dari berbagai dimensi. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah
lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi,
sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita
melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang
kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya.
a.
Sejarah
pesantren
Awal berdirinya pesantren terjadi silang pendapat, sebagian diantaranya mengatakan
bahwa pesantren berakar pada tradisi islam itu sendiri sedangkan pendapat lain
menyebutkan bahwa sistem pendidikan model pesantren adalah asli Indonesia. Pesantren merupakan sebuah lembaga dimana dalam proses
pertumbuhannya banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang berkembang di tengah
masyarakat, rekam jejak tentang lembaga pesantren menurut Mastuhu bahwa
pesantren telah ada sejak 300-400 tahun yang lalu. Sementara itu Departemen
Agama, memberikan keterangan bahwa pesantren pertama didirikan pada tahun 1062
dengan nama pesantren Jan Tampes 2 di Pamekasan Madura. Dan ada yang
menyebutkan pesantren pertama didirikan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Ada
juga yang mengatakan bahwa Raden Rahmat lah yang mendirikan pesantren pertama
kali pada abad 15 M di Surabaya.[6]
Disamping itu, ada yang mengatakan pula bahwa pesantren merupakan
perkembangan model pendidikan Islam yang sebelumnya dilakukan di masjid-masjid
atau surau-surau. Kemudian sesuai dengan perkembangan zaman dan bertambahnya
jumlah siswanya, akhirnya ada inisiatif mendirikan tempat tinggal atau pondok
lalu pendidikan tersebut berubah menjadi pondok pesantren. Kata pondok berasal dari bahasa arab
funduq yang artinya asrama.[7]
b.
Sistem
pendidikan pesantren
Pendidikan telah di identifikasikan secara
berbeda-beda oleh berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi oleh pandangan
dunia masing-masing. Namun pada dasarnya, semua pandangan yang berbeda itu
bertemu dalam semacam kesimpulan awal bahwa pendidikan merupakan suatu proses
penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan
hidupnya secara efektif dan efisien.
Secara garis besar, bahwa sistem pengajaran
pesantren ada dua macam yaitu; pertama, adalah sistem sorogan. Sistem
pengajaran ini bersifat individual. Yaitu santri menghadap kyai sorang diri
dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kemudian disodorkan kepada kyai.
Lalu santri dibimbing dan di ajari bagaimana cara membacanya dan memahami isi
kandungan kitabnya. Kedua, sistem weton (metode kuliah) yang bersifat
kolektif atau kelompok.[8]
Secara historis bisa dilacak bahwa sistem pendidikan yang
mirip dengan pesantren telah ada sebelum Islam masuk ke Nusantara ini.[9] Sistem pendidikan tersebut
dipergunakan untuk mendidik dan mengajarkan agama Hindu di Jawa. Kemudian
setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem pendidikan tersebut
digunakan pula untuk membina kader-kader Islam.
Dari sana bisa diduga bahwa secara kurikulum pesantren awal hanya merupakan
bentuk penyesuaian orientasi keagamaan dari Hindu menjadi Islam saja. Jika di
masa kerajaan Hindu, padepokan berfungsi untuk mencetak begawan dan resi, maka
setelah masuknya Islam pesantren bertujuan untuk mengajarkan pengetahuan keislaman,
sehingga lahirlah wali-wali yang berjasa besar dalam menyebarkan Islam di
Nusantara. Apabila melihat corak keislaman, pesantren awal cenderung kepada
pengajaran Islam dengan corak fiqh-tasawwuf. Realitas ini cukup bisa dilihat
dengan fenomena thariqah yang pada umumnya berbasis di pesantren tradisional
hingga saat ini. Keunggulan corak ini pesantren di masa awal tidak mengalami
persinggungan dengan kekuasaan. Akibat yang langsung bisa dilihat, agama Islam
berkembang pesat tanpa ada halangan yang berarti dari penguasa saat itu.
Walau pun demikian,
ada beberapa kalangan yang beranggapan bahwa pesantren kurang mampu
mengoptimalisasikan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.[10] Anggapan negatif terhadap eksistensi pesantren pun tidak sedikit, mulai
dari pesantren dinilai tidak responsip terhadap perkembangan zaman, sulit
menerima perubahan (pembaharuan), dengan tetap mempertahankan pola
pendidikannya yang tradisional. Seakan-akan pesantren adalah institusi yang
cenderung ekslusif dan isolatif dari kehidupan sosial umumnya. Bahkan lebih
sinis lagi ada yang beranggapan bahwa pendidikan pesantren tergantung selera
kyai. Masih banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap pesantren. Hal
ini muncul karena memang banyak orang tidak tahu dan tidak mengerti tentang
pondok pesantren, sehingga mereka mempunyai penilaian yang salah terhadapnya.
Penulis melihat bahwa anggapan itu ketika
pesantren belum berbenah dan mengadakan pembaharuan. Sementara itu, sejalan
dengan berputarnya waktu, anggapan itu merupakan anggapan yang kurang tepat. Kalau
anggapan tersebut dipaksakan sebagai kekurangan pesantren, maka kelemahan itu bukan
semata-mata kesalahan pesantren itu sendiri melainkan perhatian pemerintah
terhadap pesantren masih setengah hati. Ini dapat dilihat dari perhatian
pemerintah terhadap lembaga pendidikan formal dengan pendidikan pesantren, kenyataannya
lembaga pendidikan pesantren dianggap sebagai anak tiri. Karena tidak dapat
dipungkiri bahwa kemajuan suatu pendidikan tidak bisa menafikan unsur lain yang
menopangnya yaitu pendanaan.
Pesantren yang jelas-jelas melaksanakan pendidikan
secara komprehensif dan holistik untuk kepentingan mencerdaskan kehidupan
bangsa,[11] namun belum masuk hitungan dalam substansi
pelayanan atau pembinaan yang tergambar dalam rendahnya alokasi anggaran dan
bantuan kependidikan lainya seperti pembiayaan penyiapan sarana dan prasarana
pembelajaran, pembiayaan proses pembelajaran, tenaga kependidikan dan
pengelolaan.[12]
Walaupun peranannya yang sangat penting telah
diberikan pesantren terhadap pelaksanaan pendidikan bagi rakyat dan bangsa
tetapi perhatian pemerintah masih tampak kurang terutama pesantren yang tidak
menyesuaikan dengan penjenjangan dan sistem pendidikan formal. Rendahnya
perhatian pemerintah tampak dalam ketidakjelasan kedudukan dan pengakuan
terhadap lulusan pesantren. Santri yang telah tamat mengikuti pendidikan di
pesantren tidak memiliki civil effect sebagai tamatan formal, padahal
dari segi kualitas penguasaan ilmu yang dipelajari, lulusan pesantren pun tidak
kalah dengan siswa yang mengikuti pendidikan formal.[13] Bahkan dalam aspek tertentu, lulusannya memiliki
keunggulan yang tidak dimiliki lulusan formal (negeri), misalnya kuatnya sikap
mandiri, ketaatannya dalam beribadah dan akhlaknya yang lebih terjamin. Begitu
juga penanaman nilai ukhuwah islamiyah dan sikap tasammukh serta
pendidikan berdasarkan pemberian contoh atau suri tauladan yang baik dari
seorang guru (kyai) merupakan sederetan dari ribuan keunggulan yang dimiliki
pesantren.
Perjalanan panjang
sejarah pesantren di Indonesia di tengah kebijakan Pendidikan Nasional sejak
masa penjajahan hingga era awal pemerintahan orde baru membawa pesantren pada
posisi termarjinalkan. Seandainya Indonesia tidak pernah di jajah, maka pesantren
yang ada tidaklah begitu jauh tergeser ke daerah-daerah pedesaan yang terpencil
seperti sekarang, melainkan akan berada di kota-kota atau pusat kekuasaan dan
ekonomi, sebagaimana terlihat pada awal perkembangan pesantren yang merupakan
lembaga pendidikan agama yang amat kosmopolit dan tentunya pertumbuhan sistem
pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh oleh pondok
pesantren. Sehingga perguruan tinggi di Indonesia mungkin akan berpusat di
lembaga pendidikan yang bernama "pesantren".
Sebagai bahan koreksi, Pendidikan Nasional
sebenarnya sudah memiliki ideologi pendidikan sendiri yaitu pancasila. Namun
implementasinya dalam penyelenggaraan pendidikan walaupun sudah ada undang-undang
Sisdiknas masih belum jelas arahnya. Terbukti masih banyak mengadopsi strategi dari ideologi pendidikan lain.[14]
Sehingga pendidikan di Indonesia hanya terbatas pada ranah kognitif semata. Padahal
dalam pendidikan itu ada tiga dimensi yang harus dikembangkan secara sinergis
yaitu, afektif, kognitif dan psikomotorik.[15]
Sedangkan kurikulum dan bahan pelajaran umum pendidikan yang ada di pesantren
tidak berdasarkan sasaran pendidikan yang dirumuskan secara eksplisit,
kurikulum yang tetap maupun jadwal studi adalah merupakan sebagai tanda
kebebasan tujuan pendidikan. Karena kegiatan belajar mengajar dipandang sebagai
bentuk ibadah kepada Tuhan, artinya suatu kegiatan yang berpahala dan tidak
harus berorientasi kepada tujuan-tujuan duniawi semata.[16]
Pesantren sebagai
pranata pendidikan ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan
misinya agar ummat menjadi tafaqquh
fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya sebagai warasat al anbiya. Hal ini terus di
pertahankan agar pesantren tidak tercerabut dari akar utamanya yang telah
melembaga selama ratusan Tahun.
c.
Karakteristik
pesantren
Potret Pesantren tidak terlepas dari definisinya, yaitu
sebagai tempat pendidikan santri. Para ahli berbeda-beda dalam menyebutkan
unsur-unsur yang harus ada di dalam pesantren. Ada yang menyebutkan 3 unsur,
yaitu, santri, asrama dan kyai. Tetapi ada pula yang menyebutkan 5 unsur, yaitu
ketiga unsur di depan dengan ditambah dengan unsur masjid dan pengajaran kitab
kuning. [17]
Terlepas dari perbedaan angka yang menjadi unsur pesantren, semua sepakat
bahwa kyai menempati posisi sentral di dalam sebuah pesantren. Kepada kyai
itulah santri belajar ilmu pengetahuan agama. Agar proses belajar itu lebih
lancar, maka di sekitar rumah kyai dibangun Asrama untuk para santri. Disamping
itu pada umumnya, juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Selain sebagai
pengajar, kayi juga menjadi pemimpin di pesantren tersebut. Dalam
kepemimpinannya kyai memegang kekuasaan yang hampir mutlak (mutlak bukan
berarti otoriter). Pesantren adalah
suatu lembaga pendidikan yang banyak dipengaruhi oleh para pendiri atau
pimpinannya ini merupakan lembaga pendidikan islam berfungsi untuk memelihara,
melestarikan dan mengembangkan ajaran-ajaran islam.[18]
Sejalan
dengan perkembangan zaman, pesantren terus mencoba mengadakan pembenahan di
segala bidang sekaligus tetap terpisah dari dunia luar. Karena itu tentu tidak
keliru jika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mensinyalir bahwa pesantren merupakan
sebuah subcultural dalam artian gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar.[19] Pendapat ini tidak terlalu berlebihan karena
dalam kenyatannya masih ada komunitas pesantren yang memiliki keunikan dan
terkesan terpisah dari dunia luar. Sejarah membuktikan komunitas ini harus berhadapan secara konfrontatif pada
masa-masa kolonialisme di Indonesia. Karena itu pesantren dan komunitasnya
memiliki peranan penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Lembaga ini memiliki
kemandirian, kelestarian dan pembangunan yang berorientasi nilai.
M. Bahri Ghozali
menyatakan bahwa macam-macam pesantren secara faktual digolongkan pada beberapa
tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi:
1. Pondok Pesantren Tradisional l Salafi
Pondok pesantren
ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan
kitab yang di tulis oleh ulama’ pada abad ke 15 dengan menggunakan bahasa arab.
Pola pengajarannya dengan menerapakan sistem “halaqah” yang dilaksanakan di
masjid atau surau. Hakekat dari sistem pengajaran halaqah adalah penghapalan
yang titik akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri
yang menerima dan memiliki ilmu.[20]
Artinya ilmu itu tidak berkembang kearah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya
terbatas pada apa yang di berikan oleh kyainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya
kepada para kyai pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok
(santri mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong).
2. Pondok
Pesantren Modern / Kholaf
Pesantren yang
selain memberikan pengajaran kitab klasik juga membuka sistem sekolah umum di
lingkungan di bawah naungan dan tanggung jawab pesantren.[21]
Penerapan sistem belajar modern ini terutama nempak pada bangunan kelas-kelas
belajar dalam bentuk madrasah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau
madrasah yang berlaku secara nasional. Dan kedudukan para kyai adalah sebagai
koordinator pelaksana proses belajar mengajar.
3. Pondok
Pesantren Komprehensif
Sistem pesantren
ini disebut komprehensif merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan
antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan
pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan
watonan, namun secara reguler sistem pesekolahan terus dikembangkan. Bahkan
pendidikan ketrampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari
tipologi kesatu dan kedua.[22]
Globalisasi Dan Pesantren
Istilah globalisasi merupakan
istilah yang sudah dikenal oleh masyarakat umum yaitu peradaban yang penuh
dengan perubahan dan kecanggihan yang tanpa batas. Kecanggihan dalam ilmu
teknologi yang dapat di rasakan dengan kemudahan alat transportasi, informasi
dan telekomunikasi. Dengan perubahan ini seakan-akan dunia menjadi sempit
karena jarak sudah tidak menjadi kendala.[23]
Globalisasi berasal dari
bahasa Inggris yaitu the globe yang artinya bumi, dunia yang kita pijak ini.[24]
Globalisasi dapat diartikan sebagai proses menjadikannya sebagai satu bumi atau
menyatu. Menurut Baylis dan Smith, globalisasi adlah suatu proses meningkatnya
keterkaitan antara masyarakat sehingga satu peristiwa yang terjadi diwilayah
tertentu semakin lama akan kian berpengaruh terhadap manusia dan masyarakat
yang hidup dibagian lain dimuka bumi ini.[25]
Sedangkan menurut Anthony Gidden memandang globalisasi adalah sebuah proses
sosial yang ditandai dengan semakin intensifnya hubungan sosial yang
mengglobal.[26] Kehidupan disuatu wilayah akan terpengaruh dengan gaya hidup dari wilayah lain.
Globalisasi dapat ditandai
dengan beberapa hal. Pertama; terkait dengan kemajuan dan inofasi teknologi,
arus informasi atas komunikasi yang lintas batas negara. Kedua; globalisasi
tidak dapat dipisahkan dengan akumulasi kapital. Ketiga; yaitu berkaitan dengan
semakin tingginya intensitas perpindahan manusia yang akhirnya terjadi
pertukaran budaya, nilai dan ide yang lintas batas negara. Keempat; ditandai
dengan semakin meningkatnya tingkat keterkaitan dan ketergantungan.
Ketergantungan tersebut bukan hanya antar bangsa tapi juga bisa antar
manusia/masyarakat.[27]
a. Implikasi
globalisasi dan respon pesantren
Globalisasi
adalah produk dari kemajuan sains dan teknologi khususnya teknologi informasi
yang antara lain adalah kecanggihan media komunikasi. Sebagaimana yang
disinyalir oleh Qodri Azizy dalam pengantarnya bahwa globalisasi adalah sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dihindari dan juga bukan lari menjauh, namun harus
direspon. Yang respon tersebut bukan hanya bersifat defensif
namun harus berani ofensif.[28]
Untuk itu diperlukan pemahaman dan pemaknaan tentang ajaran Islam yang berasal
dari al-Qur'an dan al-Hadits serta konsep pendidikannya agar ummatnya mampu
menghadapi persaingan yang ketat ini.
Dalam merespons globalisasi,
pendidikan diupayakan melalui keterlibatan kreatif dari nilai-nilai otentik
Islam yang ditransformasikan ke dalam lingkup sosial budaya. Pesantren yang
mirip madrasah atau sekolah agama di dunia Islam ini telah banyak menarik
perhatian dalam karya-karya tertentu ilmuwan barat yang telah dipublikasi,
sementara di fihak ilmuwan Indonesia
telah memproduksi karya dan literatur yang banyak tentang pesantren termasuk
buku-buku dan tesis-tesis yang tidak terhitung jumlahnya. Kebanyakan literatur
ini merujuk kepada karya Zamakhsari Dhofier yang tetap menjadi gerbang yang
baik bagi studi tentang sekolah-sekolah ini. Karya-karya ini kebanyakan
menekankan bahwa pesantren dan globalisasi bukan tidak sesuai tetapi dapat
bekerjasama untuk kondisi negara yang lebih baik. Sementara yang lain berargumen bahwa peranan pasti
pesantren masih menjadi perdebatan.
Terjangan
arus globalisasi telah memberi pengaruh terhadap semua aspek kehidupan
pesantren, baik aspek pendidikan, sosial maupun budaya termasuk nilai
pendidikan di pesantren itu sendiri. Anggapan bahwa perubahan sosio-kultural
merupakan sebuah proses pembelajaran, kemudian pendidikan agama, khususnya yang
direpresentasikan oleh pesantren, dapat mengambil peran dalam peranan-peranan
sosio-kultural. Atas dasar nilai-nilai keagamaan yang otentik, pesantren tidak
hanya melakukan adaptasi internal atas visinya namun juga mempengaruhi
perubahan-perubahan sendiri atas nama kehormatan manusia dan penyembahan kepada
Tuhan. Dari sini, eksistensi pesantren diharapkan dapat menjadi sumber
pencerahan kultural bagi masyarakat sekitarnya.
Dalam era
ini kemudian muncul tuntutan modernisasi pesantren, sebagai dampak dari
modernisasi pendidikan pada umumnya, tentu merupakan suatu hal yang wajar
sepanjang menyangkut aspek teknis operasional penyelenggaraan pendidikan karena
modernisasi bagian aspek dari globalisasi yang tidak dapat terhindarkan. Jadi,
modernisasi tidak kemudian membuat pesantren terbawa arus sekularisasi karena
ternyata pendidikan sekuler yang sekarang ini menjadi trend, dengan balutan pendidikan modern, tidak mampu menciptakan
generasi mandiri. Sebaliknya, pesantren yang dikenal
dengan tradisionalnya justru dapat mencetak lulusan yang berkepribadian dan
mempunyai kemandirian. Pondok pesantren yang tersebar di pelosok-pelosok
kepulauan nusantara, turut pula menyumbangkan darma bakti dalam usaha mulia “character
building” bangsa Indonesia .[29]
Modernitas
memberi tantangan secara langsung terhadap asumsi tradisional dari dunia
pesantren. Sudah saatnya untuk memikirkan kembali misi otentik dan peranannya
ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Modernitas sendiri membawa
perubahan-perubahan dalam banyak aspek kehidupan, khususnya institusi agama
seperti pesantren itu sendiri. Akhir-akhir ini, usaha untuk mereformulasi
peranan ideal pesantren di tengah masyarakat Indonesia dapat menjadi semacam
usaha kultural yang cukup serius. Ini karena secara historis, pesantren identik
dengan ”sekolah rakyat” dan ”sekolah kehidupan” khususnya di wilayah pedesaan
di Indonesia.
Diantara
dampak dari globalisasi yang lain adalah kemajuan iptek. Kondisi ini disatu
sisi diambil manfaat dan justru dijadikan sebagai cambuk semangat dalam
memperbarui kurikulum pesantren, akan tetapi bukan berarti meninggalkan yang
lama. Inilah yang dimaksud dengan kaidah dalam pesantren "al
mukhafadatu 'ala al qadimi as shalih wa al ahdu bi al jadidi al ashlah"
tersebut.
Yang tidak
kalah dahsyatnya dari terjangan arus globalisasi adalah gaya hidup dan
pornografi yang lama kelamaan semakin melebur budaya bangsa sendiri. Ini pun
tidak dapat dihindari oleh semua kalangan termasuk pesantren. Namun tidak kalah
cerdiknya, justru pesantren jauh-jauh sebelumnya sudah mengantisipasi dan
mempersiapkan dengan membekali diri dengan menanamkan hidup sederhana dan mawas
diri yang disampaikan dalam pendidikan setiap harinya serta perhatian dari
pembina terutama dari kyai atau pengasuhnya. Begitu juga, pendidikan mental dan
moral tidak sebatas hanya disampaikan melalui pendidikan belajar mengajar,
tetapi juga melalui uswah hasanah dari seorang kyai. Budaya barat tidak
serta merta dikonsumsi secara mentah namun melalui filter agama, sehingga
budaya tersebut tidak sampai menggerogoti moral dan mental para santri.
Seiring perjalanannya sang waktu, pendidikan yang
membuat pesantren tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan adalah
model pendidikannya yang antara lain menanamkan pendidikan leadership,
pelatihan kemandirian, tidak membedakan strata social, komunitas yang
multikultural dan lain sebagainya. Dan yang terpenting adalah pendidikan
IMTAQ tanpa henti karena merupakan pondasi dasar dalam menpersiapkan perubahan
dan iklim zaman dan juga yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain. Oleh
karena itu, dengan pendidikan diatas, pesantren tetap eksis sampai saat ini dan
out put pesantren mampu untuk terjun kemasyarakat.
Pendidikan selain pesantren dalam
hal ini belum mampu untuk menjawab kebutuhan dan merespon tantangan tersebut,
walaupun mereka dapat merespon namun belum secara keseluruhan. Hal ini dapat
dilihat dari moralitas dan mentalitas siswa yang kian makin menurun. Ini
disebabkan karena mereka (elit pendidikan) sibuk dan terjebak dengan pola
westernisasi dan melupakan untuk memperbaiki moralitas dan mentalitas peserta
didik tersebut. Ini terbukti dengan UAN yang banyak mengujikan materi tentang
IPTEK lantaran model pendidikan kita mengadopsi pendidikan ala barat (ke-Amerika
Serikat-an) sehingga (materi) pendidikan cenderung menjadi kering
spiritual.[30]
Untuk itu, pesantren memiliki peran
strategis dalam pendidikan nasional dengan tetap mempertahankan sistem dan
model pendidikannya meski banyak pihak yang tidak mampu melihat ini dengan
jelas. Dengan tetap mempertahankan dan melestarikannya, pesantren justru tetap
eksis.
Kiprah lembaga pendidikan tradisional
yang penghuninya biasa disebut kaum sarungan ini tidak perlu diragukan
lagi terutama dalam meraih kemerdekaan bangsa dan mencerdaskan anak bangsa. Peranannya
telah terbukti sekian tahun dalam menopang moral bangsa. Kiprah dari lembaga
tersebut masih tetap eksis ditengah-tengah himpitan modernitas dan budaya
global seperti pada waktu munculnya pertama kali. Out put pesantren bisa masuk
disemua lini dan kemampuannya tidak hanya dalam satu bidang saja. Pendidikan
pesantren pulalah yang akan lebih dominan karena mereka dirangsang terus oleh
perkembangan zaman dan akan semakin kokoh karena pesantren akan mengalami
transformasi, secara diam-diam mengalami perluasan cakupan. Kalau dahulu pesantren hanya mengajarkan
ilmu agama semata, sekarang bisa menjadi lembaga pendidikan non-agama.
b. Kontribusi
pesantren terhadap bangsa.
Sejarah keberadaan
pesantren di Indonesia tidak diragukan lagi bahwa pesantren terlibat langsung
dalam proses Islamisasi di negara ini disamping keterlibatannya dalam meraih
kemerdekaan melenyapkan ajaran komunis. Sementara proses Islamisasi itu,
pesantren dengan canggihnya telah melakukan akomodasi dan transformasi
sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu,
dalam prespektif historis, lahirnya pesantren bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan
akan pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk penyiaran agama Islam. Menurut M.
Dawam Raharjo, hal itu menjadi identitas pesantren pada awal pertumbuhannya,
yaitu sebagai pusat penyebaran agama Islam, disamping sebagai sebuah lembaga
pendidikan.[31]
Eksistensi
Pesantren ternyata sampai hari ini, ditengah-tengah deru modernisasi masih tetap
bisa bertahan (survive) dengan identitasnya sendiri. Bahkan akhir-akhir ini para
pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya
lembaga-lembaga pedidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan
pesantren yang semula rural based institution (wong ndeso) menjadi juga
lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota besar. Posisi demikian
disebabkan oleh kemampuan pesantren menciptakan suatu sikap hidup universal
yang merata, memelihara sub-kulturalnya sendiri serta cara pandang santri terhadap
nilai sosial yang fleksibel.
Pesantren
telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam keikut sertaannya
guna mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta
besarnya jumlah santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak
diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan mental
dan moral. Menurut KH. M.A. Sahal Mahfudz sebagaimana
dikutip oleh M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridlo, bahwa pesantren mampu
melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik, tetap menjaga potensinya
dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik
sebagaimana slogan mereka al-mukhafadhatu 'ala al-qadimi as-shalih wa
al-ahdhu bi al-jadidi al-aslah, sehingga mereka mampu memainkan peranan
sebagai agent of change.[32]
Kesimpulan
Dalam mengarungi kehidupan ini terutama pada masa yang dikenal dengan era
globalisasi yang pengaruhnya tidak dapat dihindari, sangat dibutuhkan model
pendidikan yang tidak hanya memperkuat dan mempertajam kemampuan olah fikir
semata, namun setidaknya model pendidikan yang bisa mensejajarkan antara
kemampuan olah fikir dan olah qalbu bergerak secara bersamaan. Sistem dan model pendidikan yang dapat
menfilter dampak negatifnya, lembaga demikian ini adalah lembaga pendidikan
yang dikenal dengan nama "pesantren". Sistem dan model pendidikannya masih
layak untuk diperhitungkan dan di adopsi dari pada pendidikan model barat.
Karena ilmu pengetahuan tanpa penerang mengakibatkan cendekiawan tidak akan
menemui jalan dan bahkan tersesat. Mereka hidup tetapi tidak memiliki
kehidupan. Mereka akan hancur luluh ditimpa beban imajinasinya sendiri. Tanpa cahaya Tuhan, hidup adalah penderitaan dan akan kering
kerontang. Akal akan
kehilangan kepekaan, agama menjadi tiran dan hambatan. Mereka menjadi kering
spiritual. Hanya yang jatuh cinta kepada keindahan Ilahi yang dapat menjadi
penghulu segala makhluk dibawah naungan kubah biru lengkung ini.
Wa Allah A'lam..
Daftar Pustaka
A. Qodri
Aziziy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan
Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003.
Abdul Munir
Mulkhan, SU., Menggagas Pasantren Masa Depan, Yogyakarta ,
Qirtas, 2003.
Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta, Grasindo, 2001.
Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.
Ahmad Tafsir,
Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
Bandung , Remaja
Rosdakarya, 2001.
Amin Haedari,
dkk. Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan
Kompleksitas Global, Jakarta
: IRD Pres, 2004.
Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar. Cet. III, 2009.
Dawam
Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta : PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1995
cetakan ke 5.
_____________, Pergaulan
Dunia Pesantren : Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985.
Direktorat
Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah,
Pertumbuhan dan Perkembangannnya, Jakarta
: Depag, 2003.
Faisal
Ismail, Percikan Pemikiran Islam, Yogyakarta
: Bina Usaha, 1984.
Imam Machalli
& Musthofa (edit), Pendidikan Islam & Tantangan Globalisasi. Yogyakarta : Presma, 2004.
Imam
Syafe'ie, Konsep Guru Menurut Al-Ghazali, Pendekatan Filosofis Pedagogik.
Yogyakarta : Duta Pustaka, 1992.
Manfred
Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta : P3M, 1986.
M. Bahri Ghozali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta; Prasasti, 2003.
M. Dawam Raharjo, Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren,
Pengantar dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun
Dari Bawah, Jakarta : P3M, 1985.
M. Dian
Nafi', dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta :
ITD, 2007.
M. Natsir
Arsyad, Seputar Al-Qur'an, Hadits dan Ilmu. Bandung: Al-Bayan, 1996.
M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren,
Jakarta : Diva Pustaka, 2005.
Mujamil Qomar, Pesantren, Dari Transformasi Metodologi Menuju demokratisasi
Institusi. Jakarta: Erlangga, tt.
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1 Jakarta: Paramadina, 1997.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup
Kiai Jakarta: LP3ES, 1990.
http://TelaahPesantren.Blogspot.com/2008.
Http//: www.almihrab.com.
[1] Hal ini sudah terbukti, dibalik
kesimpangsiuran makna pembangunan pada masa Orde Baru yang menimbulkan
kekecewaan yang sangat akut di masyarakat, pesantren terus mengadakan
pembenahan dan bahkan mengambil jarak terhadap negara. Hal inilah yang
menjadikan sistem pendidikan pesantren patut diperhitungkan. Tentang hal ini,
baca Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo, cet.
pertama (Jakarta: P3M, 1986), hal. 21.
[2] Dari kemerdekaan sampai 2000, pesantren
merupakan lembaga pendidikan yang jauh dari perhatian pemerintah. Pesantren
justru lebih akrab dengan rakyat miskin di pedesaan. Karena dengan merekalah
pesantren bangkit dan tetap terjaga ketradisionalannya. Manfred Ziemek, Pesantren Dalam...
hal. 96.
[3] Manfred Ziemek, Pesantren Dalam... hlm. 16. Bandingkan dengan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1990) hal. 18.
[4] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi
tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1990)
hal. 18
[5] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1997),
hal.3
[6] Selengkapnya, lihat; Mujamil Qomar, Pesantren, Dari
Transformasi Metodologi Menuju demokratisasi Institusi. (Jakarta: Erlangga,
tt), hlm 8. Lihat
juga, Http//: www.almihrab.com.
[8] Selengkapnya, lihat; M. Natsir Arsyad, Seputar Al-Qur'an, Hadits dan Ilmu. (Bandung: Al-Bayan, 1996) hlm. 111. Lihat juga, Abuddin Nata (ed), Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Grasindo, 2001), hlm 05.
[10] M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen
Pondok Pesantren, (Jakarta:
Diva Pustaka, 2005). hlm. 17.
[11] Sebenarnya, kenyataan ini sesuai dengan
harapan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 55 Tahun 2007 Pasal 8 ayat 2 Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan
Keagamaan yaitu, Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta
didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan
dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan
berakhlak mulia.
[12] Ketika ada anggaran biaya bagi santri pun masih diperuntukkan untuk
alumni ( itupun ketika pemerintah membutuhkan mereka = asas manfaat, artinya
ketika pemerintah tidak membutuhkan maka otomatis tidak ada beasiswa bagi
alumni pesantren) dan itu pun belajar diluar pesantren (kampus, sebagaimana
beasiswa tahqiq al qutub) namun tidak ada beasiswa bagi santri yang masih mukim
dan belajar didalam pesantren.
[13] Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan
Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan Perkembangannnya, (Jakarta : Depag, 2003), hlm. 65.
[14] Pendidikan tersebut tidak sesuai dengan budaya dan kondisi bangsa
ini. Lihat, Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme
Teosentris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 8.
[15] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Cet. III, (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar. 2009), hlm. 13.
[16] Manfred Ziemek, Pesantren …,
hlm. 162.
[17] Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren…
hlm. 28.
[18] Mujamil Qomar, Pesantren, Dari
Transformasi Metodologi Menuju demokratisasi Institusi. (Jakarta: Erlangga, tt), hlm. 2.
[19] Selengkapnya lihat, Dawam Raharjo, Pesantren
dan Pembaharuan, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1995) cetakan ke 5.
hlm. 40. Lihat juga, M. Sulthon Masyhud dan Moh.
Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2005), hlm. 10.
[20] Lihat Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan… hlm. 05
[21] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
Dalam Perspektif Islam, (Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2001), Hlm. 194.
[23] Dalam istilah Anthony Gidden menyatakan
dengan istilah "time-space distanciation" yaitu dunia tanpa batas;
ruang dan waktu bukanlah menjadi penghalang. Imam Machalli & Musthofa
(edit), Pendidikan Islam & Tantangan Globalisasi. (Yogyakarta:
Presma, 2004). Hlm. 107.
[24] Imam Machalli & Musthofa (edit), Pendidikan Islam… hlm.
109.
[25] Ibid., hlm. 109.
[26] Ibid.,
[27] Ibid., hlm. 111-112.
[28] A. Qodri Aziziy, Melawan Globalisasi,
Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani.
(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hlm. Vii.
[29] Faisal Ismail, Percikan Pemikiran
Islam, (Yogyakarta : Bina Usaha, 1984), hal. 69.
[30] Memuncaknya aliran progresif di Amerika
Serikat yang menelorkan kurikulum "child-centered" sebenarnya
mengakibatkan peranan guru sangat kecil dalam belajar mengajar. Anak berkembang
dan percaya akan dirinya sendiri dengan inisiatif yang dimilikinya. Hal ini
memungkinkan anak akan kehilangan pedoman nilainya akibat kebebasan yang
diberikan ketika belajar dimasa kecilnya. Anak didik kurang mendapatkan
norma-norma yang menjadi ukuran bagi kelakuan mereka. Tidak dapat dipungkiri,
perubahan kurikulum yang terjadi dalam pendidikan kita dikarenakan banyak
mengadopsi model pendidikan ala barat tanpa adanya filter yang serius dan
bahkan salah dalam memahaminya (tidak sesuai dengan kultur budayanya),
karena teori barat membedakan pengertian pengajaran dan pendidikan. Dengan kata
lain, guru hanya mentrasfer ilmu dan hanya bertugas mengajar ilmu pengetahuaan,
sedangkan tugas mendidik adalah menjadi tanggung jawab orang tua dan
masyarakat. Ini sangat berbeda dengan pendidikan yang ada dipesantren. Selengkapnya lihat
Imam Syafe'ie, Konsep Guru Menurut Al-Ghazali, Pendekatan Filosofis
Pedagogik. (Yogyakarta : Duta Pustaka, 1992), hlm. 3.
[31] M. Dawam Raharjo, “Perkembangan
Masyarakat dalam Perspektif Pesantren”, Pengantar dalam M. Dawam Raharjo
(ed), Pergaulan Dunia Pesantren :
Membangun Dari Bawah (Jakarta : P3M, 1985), hal. vii.
[32] Selanjutnya lihat, M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen…
hlm. 19.
No comments:
Post a Comment