Wednesday, November 30, 2011

REFLEKSI PESANTREN DI TENGAH HIMPITAN GLOBALISASI


Oleh : Ahmad Mustaghfirin
Pendahuluan
Zaman terus berkembang dan waktu selalu berputar serta tahun semakin bertambah. Membicarakan pesantren tak pernah kering dari otak pemikiran para pegiat intelektual baik muda maupun tua. Pesantren yang merupakan sistem pendidikan tertua sering dikonotasikan sebagai sekelompok kaum sarungan yang tradisional, kolot, yang hanya bisa baca kitab kuning dan ceramah tang tung-tang tung dan cas cis cus dari satu surau ke surau dan dari masjid satu ke masjid yang lain ternyata menyimpan banyak potensi. Keberadaannya tidak boleh dianggap sepele, dan sampai sekarang pun tetap eksis walaupun sempat termarjinalkan dan gelombang globalisasi menerjang. Bergulirnya era globalisasi justru dijadikan cambuk bagi pesantren untuk berbenah diri agar tetap mampu memposisikan diri sebagai penopang bangsa.
Ditengah-tengah zaman dimana mentalitas dan moralitas anak bangsa mengalami penurunan akibat dari masa globalisasi tersebut, Pendidikan Nasional belum mampu untuk membenahi dan menjawabnya. Dengan demikian, bangsa Indonesia memerlukan sebuah lembaga pendidikan yang bisa menjawabnya. Oleh karena itu, satu-satunya jalan cepat untuk membangkitkan umat dari keterbelakangan ini adalah optimalisasi sektor pendidikan, dan lembaga pendidikan tersebut adalah pesantren.[1] Namun, sejak pengakuan dengan keluarnya surat keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 sampai saat ini, perhatian pemerintah terhadap lembaga pendidikan yang mampu dan sudah teruji kiprahnya ini masih setengah hati walaupun pengakuannya sudah berusia kurang lebih delapan Tahun.[2] Dengan demikian, pesantren masih bisa dibilang representatif yang tentunya bukan hanya sekedar mampu bertahan namun juga sanggup bersaing dan menang dalam era globalisasi ini.
Oleh karena itu, bagaimanakah pesantren dalam menjaga otonominya, identitas dirinya, dan semangat tradisionalnya ketika berhadapan dengan kerasnya persaingan hidup pada era millennium III ini, serta implikasi globalisasi dan respon pesantren dalam mengantisipasi peran-peran sosial-budaya dalam era globalisasi ini.
Selayang Pandang Istilah Pesantren
Secara etimologi, istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an yang dengan awalan pe- dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri. Sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia ke arah yang baik.[3] Sementara menurut Profesor Johns sebagaimana yang dikutip oleh Dhofier menyebutkan bahwa, istilah "santri" berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan C C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[4] Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian seorang murid yang belajar buku-buku suci/ilmu-ilmu pengetahuan Agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya interaksi guru­ murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam rangka transferisasi ilmu-ilmu keislaman. Menurut Nurcholis Madjid, secara histori pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia.[5]
Pondok pesantren secara definitif tidak dapat diberikan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum ada pengertian yang lebih konkrit, karena masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif. Dengan demikian sesuai dengan arus dinamika zaman, definisi serta persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awalnya pesantren diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi saat sekarang pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional tidaklah selamanya benar.
Pesantren merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencinta ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai dimensi. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya.
a.      Sejarah pesantren
Awal berdirinya pesantren terjadi silang pendapat, sebagian diantaranya mengatakan bahwa pesantren berakar pada tradisi islam itu sendiri sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa sistem pendidikan model pesantren adalah asli Indonesia. Pesantren merupakan sebuah lembaga dimana dalam proses pertumbuhannya banyak dipengaruhi oleh sistem nilai yang berkembang di tengah masyarakat, rekam jejak tentang lembaga pesantren menurut Mastuhu bahwa pesantren telah ada sejak 300-400 tahun yang lalu. Sementara itu Departemen Agama, memberikan keterangan bahwa pesantren pertama didirikan pada tahun 1062 dengan nama pesantren Jan Tampes 2 di Pamekasan Madura. Dan ada yang menyebutkan pesantren pertama didirikan oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Ada juga yang mengatakan bahwa Raden Rahmat lah yang mendirikan pesantren pertama kali pada abad 15 M di Surabaya.[6]
Disamping itu, ada yang mengatakan pula bahwa pesantren merupakan perkembangan model pendidikan Islam yang sebelumnya dilakukan di masjid-masjid atau surau-surau. Kemudian sesuai dengan perkembangan zaman dan bertambahnya jumlah siswanya, akhirnya ada inisiatif mendirikan tempat tinggal atau pondok lalu pendidikan tersebut berubah menjadi pondok pesantren. Kata pondok berasal dari bahasa arab funduq yang artinya asrama.[7]
b.      Sistem pendidikan pesantren
Pendidikan telah di identifikasikan secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi oleh pandangan dunia masing-masing. Namun pada dasarnya, semua pandangan yang berbeda itu bertemu dalam semacam kesimpulan awal bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara efektif dan efisien.
Secara garis besar, bahwa sistem pengajaran pesantren ada dua macam yaitu; pertama, adalah sistem sorogan. Sistem pengajaran ini bersifat individual. Yaitu santri menghadap kyai sorang diri dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kemudian disodorkan kepada kyai. Lalu santri dibimbing dan di ajari bagaimana cara membacanya dan memahami isi kandungan kitabnya. Kedua, sistem weton (metode kuliah) yang bersifat kolektif atau kelompok.[8]
Secara historis bisa dilacak bahwa sistem pendidikan yang mirip dengan pesantren telah ada sebelum Islam masuk ke Nusantara ini.[9] Sistem pendidikan tersebut dipergunakan untuk mendidik dan mengajarkan agama Hindu di Jawa. Kemudian setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem pendidikan tersebut digunakan pula untuk membina kader-kader Islam.
Dari sana bisa diduga bahwa secara kurikulum pesantren awal hanya merupakan bentuk penyesuaian orientasi keagamaan dari Hindu menjadi Islam saja. Jika di masa kerajaan Hindu, padepokan berfungsi untuk mencetak begawan dan resi, maka setelah masuknya Islam pesantren bertujuan untuk mengajarkan pengetahuan keislaman, sehingga lahirlah wali-wali yang berjasa besar dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Apabila melihat corak keislaman, pesantren awal cenderung kepada pengajaran Islam dengan corak fiqh-tasawwuf. Realitas ini cukup bisa dilihat dengan fenomena thariqah yang pada umumnya berbasis di pesantren tradisional hingga saat ini. Keunggulan corak ini pesantren di masa awal tidak mengalami persinggungan dengan kekuasaan. Akibat yang langsung bisa dilihat, agama Islam berkembang pesat tanpa ada halangan yang berarti dari penguasa saat itu.
Walau pun demikian, ada beberapa kalangan yang beranggapan bahwa pesantren kurang mampu mengoptimalisasikan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.[10] Anggapan negatif terhadap eksistensi pesantren pun tidak sedikit, mulai dari pesantren dinilai tidak responsip terhadap perkembangan zaman, sulit menerima perubahan (pembaharuan), dengan tetap mempertahankan pola pendidikannya yang tradisional. Seakan-akan pesantren adalah institusi yang cenderung ekslusif dan isolatif dari kehidupan sosial umumnya. Bahkan lebih sinis lagi ada yang beranggapan bahwa pendidikan pesantren tergantung selera kyai. Masih banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap pesantren. Hal ini muncul karena memang banyak orang tidak tahu dan tidak mengerti tentang pondok pesantren, sehingga mereka mempunyai penilaian yang salah terhadapnya.
Penulis melihat bahwa anggapan itu ketika pesantren belum berbenah dan mengadakan pembaharuan. Sementara itu, sejalan dengan berputarnya waktu, anggapan itu merupakan anggapan yang kurang tepat. Kalau anggapan tersebut dipaksakan sebagai kekurangan pesantren, maka kelemahan itu bukan semata-mata kesalahan pesantren itu sendiri melainkan perhatian pemerintah terhadap pesantren masih setengah hati. Ini dapat dilihat dari perhatian pemerintah terhadap lembaga pendidikan formal dengan pendidikan pesantren, kenyataannya lembaga pendidikan pesantren dianggap sebagai anak tiri. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan suatu pendidikan tidak bisa menafikan unsur lain yang menopangnya yaitu pendanaan.
Pesantren yang jelas-jelas melaksanakan pendidikan secara komprehensif dan holistik untuk kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa,[11] namun belum masuk hitungan dalam substansi pelayanan atau pembinaan yang tergambar dalam rendahnya alokasi anggaran dan bantuan kependidikan lainya seperti pembiayaan penyiapan sarana dan prasarana pembelajaran, pembiayaan proses pembelajaran, tenaga kependidikan dan pengelolaan.[12]
Walaupun peranannya yang sangat penting telah diberikan pesantren terhadap pelaksanaan pendidikan bagi rakyat dan bangsa tetapi perhatian pemerintah masih tampak kurang terutama pesantren yang tidak menyesuaikan dengan penjenjangan dan sistem pendidikan formal. Rendahnya perhatian pemerintah tampak dalam ketidakjelasan kedudukan dan pengakuan terhadap lulusan pesantren. Santri yang telah tamat mengikuti pendidikan di pesantren tidak memiliki civil effect sebagai tamatan formal, padahal dari segi kualitas penguasaan ilmu yang dipelajari, lulusan pesantren pun tidak kalah dengan siswa yang mengikuti pendidikan formal.[13] Bahkan dalam aspek tertentu, lulusannya memiliki keunggulan yang tidak dimiliki lulusan formal (negeri), misalnya kuatnya sikap mandiri, ketaatannya dalam beribadah dan akhlaknya yang lebih terjamin. Begitu juga penanaman nilai ukhuwah islamiyah dan sikap tasammukh serta pendidikan berdasarkan pemberian contoh atau suri tauladan yang baik dari seorang guru (kyai) merupakan sederetan dari ribuan keunggulan yang dimiliki pesantren.
Perjalanan panjang sejarah pesantren di Indonesia di tengah kebijakan Pendidikan Nasional sejak masa penjajahan hingga era awal pemerintahan orde baru membawa pesantren pada posisi termarjinalkan. Seandainya Indonesia tidak pernah di jajah, maka pesantren yang ada tidaklah begitu jauh tergeser ke daerah-daerah pedesaan yang terpencil seperti sekarang, melainkan akan berada di kota-kota atau pusat kekuasaan dan ekonomi, sebagaimana terlihat pada awal perkembangan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan agama yang amat kosmopolit dan tentunya pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh oleh pondok pesantren. Sehingga perguruan tinggi di Indonesia mungkin akan berpusat di lembaga pendidikan yang bernama "pesantren".
Sebagai bahan koreksi, Pendidikan Nasional sebenarnya sudah memiliki ideologi pendidikan sendiri yaitu pancasila. Namun implementasinya dalam penyelenggaraan pendidikan walaupun sudah ada undang-undang Sisdiknas masih belum jelas arahnya. Terbukti masih banyak mengadopsi strategi dari ideologi pendidikan lain.[14] Sehingga pendidikan di Indonesia hanya terbatas pada ranah kognitif semata. Padahal dalam pendidikan itu ada tiga dimensi yang harus dikembangkan secara sinergis yaitu, afektif, kognitif dan psikomotorik.[15] Sedangkan kurikulum dan bahan pelajaran umum pendidikan yang ada di pesantren tidak berdasarkan sasaran pendidikan yang dirumuskan secara eksplisit, kurikulum yang tetap maupun jadwal studi adalah merupakan sebagai tanda kebebasan tujuan pendidikan. Karena kegiatan belajar mengajar dipandang sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan, artinya suatu kegiatan yang berpahala dan tidak harus berorientasi kepada tujuan-tujuan duniawi semata.[16]
Pesantren sebagai pranata pendidikan ulama (intelektual) pada umumnya terus menyelenggarakan misinya agar ummat menjadi tafaqquh fiddin dan memotifasi kader ulama dalam misi dan fungsinya sebagai warasat al anbiya. Hal ini terus di pertahankan agar pesantren tidak tercerabut dari akar utamanya yang telah melembaga selama ratusan Tahun.
c.       Karakteristik pesantren
Potret Pesantren tidak terlepas dari definisinya, yaitu sebagai tempat pendidikan santri. Para ahli berbeda-beda dalam menyebutkan unsur-unsur yang harus ada di dalam pesantren. Ada yang menyebutkan 3 unsur, yaitu, santri, asrama dan kyai. Tetapi ada pula yang menyebutkan 5 unsur, yaitu ketiga unsur di depan dengan ditambah dengan unsur masjid dan pengajaran kitab kuning. [17]
Terlepas dari perbedaan angka yang menjadi unsur pesantren, semua sepakat bahwa kyai menempati posisi sentral di dalam sebuah pesantren. Kepada kyai itulah santri belajar ilmu pengetahuan agama. Agar proses belajar itu lebih lancar, maka di sekitar rumah kyai dibangun Asrama untuk para santri. Disamping itu pada umumnya, juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Selain sebagai pengajar, kayi juga menjadi pemimpin di pesantren tersebut. Dalam kepemimpinannya kyai memegang kekuasaan yang hampir mutlak (mutlak bukan berarti otoriter). Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang banyak dipengaruhi oleh para pendiri atau pimpinannya ini merupakan lembaga pendidikan islam berfungsi untuk memelihara, melestarikan dan mengembangkan ajaran-ajaran islam.[18]
Sejalan dengan perkembangan zaman, pesantren terus mencoba mengadakan pembenahan di segala bidang sekaligus tetap terpisah dari dunia luar. Karena itu tentu tidak keliru jika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mensinyalir bahwa pesantren merupakan sebuah subcultural dalam artian gejala yang unik dan terpisah dari dunia luar.[19] Pendapat ini tidak terlalu berlebihan karena dalam kenyatannya masih ada komunitas pesantren yang memiliki keunikan dan terkesan terpisah dari dunia luar. Sejarah membuktikan komunitas ini harus berhadapan secara konfrontatif pada masa-masa kolonialisme di Indonesia. Karena itu pesantren dan komunitasnya memiliki peranan penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Lembaga ini memiliki kemandirian, kelestarian dan pembangunan yang berorientasi nilai.
M. Bahri Ghozali menyatakan bahwa macam-macam pesantren secara faktual digolongkan pada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi:
1.    Pondok Pesantren Tradisional l Salafi
Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang di tulis oleh ulama’ pada abad ke 15 dengan menggunakan bahasa arab. Pola pengajarannya dengan menerapakan sistem “halaqah” yang dilaksanakan di masjid atau surau. Hakekat dari sistem pengajaran halaqah adalah penghapalan yang titik akhirnya dari segi metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu.[20] Artinya ilmu itu tidak berkembang kearah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada apa yang di berikan oleh kyainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya kepada para kyai pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok (santri kalong).
2.   Pondok Pesantren Modern / Kholaf
Pesantren yang selain memberikan pengajaran kitab klasik juga membuka sistem sekolah umum di lingkungan di bawah naungan dan tanggung jawab pesantren.[21] Penerapan sistem belajar modern ini terutama nempak pada bangunan kelas-kelas belajar dalam bentuk madrasah. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Dan kedudukan para kyai adalah sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar.
3.    Pondok Pesantren Komprehensif
Sistem pesantren ini disebut komprehensif merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan, bandongan dan watonan, namun secara reguler sistem pesekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan ketrampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya berbeda dari tipologi kesatu dan kedua.[22]
Globalisasi Dan Pesantren
Istilah globalisasi merupakan istilah yang sudah dikenal oleh masyarakat umum yaitu peradaban yang penuh dengan perubahan dan kecanggihan yang tanpa batas. Kecanggihan dalam ilmu teknologi yang dapat di rasakan dengan kemudahan alat transportasi, informasi dan telekomunikasi. Dengan perubahan ini seakan-akan dunia menjadi sempit karena jarak sudah tidak menjadi kendala.[23]
Globalisasi berasal dari bahasa Inggris yaitu the globe yang artinya bumi, dunia yang kita pijak ini.[24] Globalisasi dapat diartikan sebagai proses menjadikannya sebagai satu bumi atau menyatu. Menurut Baylis dan Smith, globalisasi adlah suatu proses meningkatnya keterkaitan antara masyarakat sehingga satu peristiwa yang terjadi diwilayah tertentu semakin lama akan kian berpengaruh terhadap manusia dan masyarakat yang hidup dibagian lain dimuka bumi ini.[25] Sedangkan menurut Anthony Gidden memandang globalisasi adalah sebuah proses sosial yang ditandai dengan semakin intensifnya hubungan sosial yang mengglobal.[26] Kehidupan disuatu wilayah akan terpengaruh dengan gaya hidup dari wilayah lain.
Globalisasi dapat ditandai dengan beberapa hal. Pertama; terkait dengan kemajuan dan inofasi teknologi, arus informasi atas komunikasi yang lintas batas negara. Kedua; globalisasi tidak dapat dipisahkan dengan akumulasi kapital. Ketiga; yaitu berkaitan dengan semakin tingginya intensitas perpindahan manusia yang akhirnya terjadi pertukaran budaya, nilai dan ide yang lintas batas negara. Keempat; ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat keterkaitan dan ketergantungan. Ketergantungan tersebut bukan hanya antar bangsa tapi juga bisa antar manusia/masyarakat.[27]
a.      Implikasi globalisasi dan respon pesantren
Globalisasi adalah produk dari kemajuan sains dan teknologi khususnya teknologi informasi yang antara lain adalah kecanggihan media komunikasi. Sebagaimana yang disinyalir oleh Qodri Azizy dalam pengantarnya bahwa globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari dan juga bukan lari menjauh, namun harus direspon. Yang respon tersebut bukan hanya bersifat defensif namun harus berani ofensif.[28] Untuk itu diperlukan pemahaman dan pemaknaan tentang ajaran Islam yang berasal dari al-Qur'an dan al-Hadits serta konsep pendidikannya agar ummatnya mampu menghadapi persaingan yang ketat ini.
Dalam merespons globalisasi, pendidikan diupayakan melalui keterlibatan kreatif dari nilai-nilai otentik Islam yang ditransformasikan ke dalam lingkup sosial budaya. Pesantren yang mirip madrasah atau sekolah agama di dunia Islam ini telah banyak menarik perhatian dalam karya-karya tertentu ilmuwan barat yang telah dipublikasi, sementara di fihak ilmuwan Indonesia telah memproduksi karya dan literatur yang banyak tentang pesantren termasuk buku-buku dan tesis-tesis yang tidak terhitung jumlahnya. Kebanyakan literatur ini merujuk kepada karya Zamakhsari Dhofier yang tetap menjadi gerbang yang baik bagi studi tentang sekolah-sekolah ini. Karya-karya ini kebanyakan menekankan bahwa pesantren dan globalisasi bukan tidak sesuai tetapi dapat bekerjasama untuk kondisi negara yang lebih baik. Sementara yang lain berargumen bahwa peranan pasti pesantren masih menjadi perdebatan.
Terjangan arus globalisasi telah memberi pengaruh terhadap semua aspek kehidupan pesantren, baik aspek pendidikan, sosial maupun budaya termasuk nilai pendidikan di pesantren itu sendiri. Anggapan bahwa perubahan sosio-kultural merupakan sebuah proses pembelajaran, kemudian pendidikan agama, khususnya yang direpresentasikan oleh pesantren, dapat mengambil peran dalam peranan-peranan sosio-kultural. Atas dasar nilai-nilai keagamaan yang otentik, pesantren tidak hanya melakukan adaptasi internal atas visinya namun juga mempengaruhi perubahan-perubahan sendiri atas nama kehormatan manusia dan penyembahan kepada Tuhan. Dari sini, eksistensi pesantren diharapkan dapat menjadi sumber pencerahan kultural bagi masyarakat sekitarnya.
Dalam era ini kemudian muncul tuntutan modernisasi pesantren, sebagai dampak dari modernisasi pendidikan pada umumnya, tentu merupakan suatu hal yang wajar sepanjang menyangkut aspek teknis operasional penyelenggaraan pendidikan karena modernisasi bagian aspek dari globalisasi yang tidak dapat terhindarkan. Jadi, modernisasi tidak kemudian membuat pesantren terbawa arus sekularisasi karena ternyata pendidikan sekuler yang sekarang ini menjadi trend, dengan balutan pendidikan modern, tidak mampu menciptakan generasi mandiri. Sebaliknya, pesantren yang dikenal dengan tradisionalnya justru dapat mencetak lulusan yang berkepribadian dan mempunyai kemandirian. Pondok pesantren yang tersebar di pelosok-pelosok kepulauan nusantara, turut pula menyumbangkan darma bakti dalam usaha mulia  “character building” bangsa Indonesia.[29]
Modernitas memberi tantangan secara langsung terhadap asumsi tradisional dari dunia pesantren. Sudah saatnya untuk memikirkan kembali misi otentik dan peranannya ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Modernitas sendiri membawa perubahan-perubahan dalam banyak aspek kehidupan, khususnya institusi agama seperti pesantren itu sendiri. Akhir-akhir ini, usaha untuk mereformulasi peranan ideal pesantren di tengah masyarakat Indonesia dapat menjadi semacam usaha kultural yang cukup serius. Ini karena secara historis, pesantren identik dengan ”sekolah rakyat” dan ”sekolah kehidupan” khususnya di wilayah pedesaan di Indonesia.
Diantara dampak dari globalisasi yang lain adalah kemajuan iptek. Kondisi ini disatu sisi diambil manfaat dan justru dijadikan sebagai cambuk semangat dalam memperbarui kurikulum pesantren, akan tetapi bukan berarti meninggalkan yang lama. Inilah yang dimaksud dengan kaidah dalam pesantren "al mukhafadatu 'ala al qadimi as shalih wa al ahdu bi al jadidi al ashlah" tersebut.
Yang tidak kalah dahsyatnya dari terjangan arus globalisasi adalah gaya hidup dan pornografi yang lama kelamaan semakin melebur budaya bangsa sendiri. Ini pun tidak dapat dihindari oleh semua kalangan termasuk pesantren. Namun tidak kalah cerdiknya, justru pesantren jauh-jauh sebelumnya sudah mengantisipasi dan mempersiapkan dengan membekali diri dengan menanamkan hidup sederhana dan mawas diri yang disampaikan dalam pendidikan setiap harinya serta perhatian dari pembina terutama dari kyai atau pengasuhnya. Begitu juga, pendidikan mental dan moral tidak sebatas hanya disampaikan melalui pendidikan belajar mengajar, tetapi juga melalui uswah hasanah dari seorang kyai. Budaya barat tidak serta merta dikonsumsi secara mentah namun melalui filter agama, sehingga budaya tersebut tidak sampai menggerogoti moral dan mental para santri.
Seiring perjalanannya sang waktu, pendidikan yang membuat pesantren tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan adalah model pendidikannya yang antara lain menanamkan pendidikan leadership, pelatihan kemandirian, tidak membedakan strata social, komunitas yang multikultural dan lain sebagainya. Dan yang terpenting adalah pendidikan IMTAQ tanpa henti karena merupakan pondasi dasar dalam menpersiapkan perubahan dan iklim zaman dan juga yang membedakan dengan lembaga pendidikan lain. Oleh karena itu, dengan pendidikan diatas, pesantren tetap eksis sampai saat ini dan out put pesantren mampu untuk terjun kemasyarakat.
Pendidikan selain pesantren dalam hal ini belum mampu untuk menjawab kebutuhan dan merespon tantangan tersebut, walaupun mereka dapat merespon namun belum secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat dari moralitas dan mentalitas siswa yang kian makin menurun. Ini disebabkan karena mereka (elit pendidikan) sibuk dan terjebak dengan pola westernisasi dan melupakan untuk memperbaiki moralitas dan mentalitas peserta didik tersebut. Ini terbukti dengan UAN yang banyak mengujikan materi tentang IPTEK lantaran model pendidikan kita mengadopsi pendidikan ala barat (ke-Amerika Serikat-an) sehingga (materi) pendidikan cenderung menjadi kering spiritual.[30]
Untuk itu, pesantren memiliki peran strategis dalam pendidikan nasional dengan tetap mempertahankan sistem dan model pendidikannya meski banyak pihak yang tidak mampu melihat ini dengan jelas. Dengan tetap mempertahankan dan melestarikannya, pesantren justru tetap eksis.
Kiprah lembaga pendidikan tradisional yang penghuninya biasa disebut kaum sarungan ini tidak perlu diragukan lagi terutama dalam meraih kemerdekaan bangsa dan mencerdaskan anak bangsa. Peranannya telah terbukti sekian tahun dalam menopang moral bangsa. Kiprah dari lembaga tersebut masih tetap eksis ditengah-tengah himpitan modernitas dan budaya global seperti pada waktu munculnya pertama kali. Out put pesantren bisa masuk disemua lini dan kemampuannya tidak hanya dalam satu bidang saja. Pendidikan pesantren pulalah yang akan lebih dominan karena mereka dirangsang terus oleh perkembangan zaman dan akan semakin kokoh karena pesantren akan mengalami transformasi, secara diam-diam mengalami perluasan cakupan. Kalau dahulu pesantren hanya mengajarkan ilmu agama semata, sekarang bisa menjadi lembaga pendidikan non-agama.
b.      Kontribusi pesantren terhadap bangsa.
Sejarah keberadaan pesantren di Indonesia tidak diragukan lagi bahwa pesantren terlibat langsung dalam proses Islamisasi di negara ini disamping keterlibatannya dalam meraih kemerdekaan melenyapkan ajaran komunis. Sementara proses Islamisasi itu, pesantren dengan canggihnya telah melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat setempat. Oleh karena itu, dalam prespektif historis, lahirnya pesantren bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan pentingnya pendidikan, tetapi juga untuk penyiaran agama Islam. Menurut M. Dawam Raharjo, hal itu menjadi identitas pesantren pada awal pertumbuhannya, yaitu sebagai pusat penyebaran agama Islam, disamping sebagai sebuah lembaga pendidikan.[31]
Eksistensi Pesantren ternyata sampai hari ini, ditengah-tengah deru modernisasi masih tetap bisa bertahan  (survive) dengan identitasnya sendiri. Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pedidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan pesantren yang semula rural based institution (wong ndeso) menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota besar. Posisi demikian disebabkan oleh kemampuan pesantren menciptakan suatu sikap hidup universal yang merata, memelihara sub-kulturalnya sendiri serta cara pandang santri terhadap nilai sosial yang fleksibel.
Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam keikut sertaannya guna mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan mental dan moral. Menurut KH. M.A. Sahal Mahfudz sebagaimana dikutip oleh M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridlo, bahwa pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik, tetap menjaga potensinya dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik sebagaimana slogan mereka al-mukhafadhatu 'ala al-qadimi as-shalih wa al-ahdhu bi al-jadidi al-aslah, sehingga mereka mampu memainkan peranan sebagai agent of change.[32]
Kesimpulan
Dalam mengarungi kehidupan ini terutama pada masa yang dikenal dengan era globalisasi yang pengaruhnya tidak dapat dihindari, sangat dibutuhkan model pendidikan yang tidak hanya memperkuat dan mempertajam kemampuan olah fikir semata, namun setidaknya model pendidikan yang bisa mensejajarkan antara kemampuan olah fikir dan olah qalbu bergerak secara bersamaan. Sistem dan model pendidikan yang dapat menfilter dampak negatifnya, lembaga demikian ini adalah lembaga pendidikan yang dikenal dengan nama "pesantren". Sistem dan model pendidikannya masih layak untuk diperhitungkan dan di adopsi dari pada pendidikan model barat.
Karena ilmu pengetahuan tanpa penerang mengakibatkan cendekiawan tidak akan menemui jalan dan bahkan tersesat. Mereka hidup tetapi tidak memiliki kehidupan. Mereka akan hancur luluh ditimpa beban imajinasinya sendiri. Tanpa cahaya Tuhan, hidup adalah penderitaan dan akan kering kerontang. Akal akan kehilangan kepekaan, agama menjadi tiran dan hambatan. Mereka menjadi kering spiritual. Hanya yang jatuh cinta kepada keindahan Ilahi yang dapat menjadi penghulu segala makhluk dibawah naungan kubah biru lengkung ini.

Wa Allah A'lam..




Daftar Pustaka

A. Qodri Aziziy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2003.
Abdul Munir Mulkhan, SU., Menggagas Pasantren Masa Depan, Yogyakarta, Qirtas, 2003.
Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Jakarta, Grasindo, 2001.
Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001.
Amin Haedari, dkk. Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, Jakarta : IRD Pres, 2004.
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Cet. III, 2009.
Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta : PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1995 cetakan ke 5.
­­­­­­­­­_____________, Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985.
Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan Perkembangannnya, Jakarta : Depag, 2003.
Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, Yogyakarta : Bina Usaha, 1984.
Imam Machalli & Musthofa (edit), Pendidikan Islam & Tantangan Globalisasi. Yogyakarta: Presma, 2004.
Imam Syafe'ie, Konsep Guru Menurut Al-Ghazali, Pendekatan Filosofis Pedagogik. Yogyakarta : Duta Pustaka, 1992.
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta : P3M, 1986. 
M. Bahri Ghozali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Jakarta; Prasasti, 2003.
M. Dawam Raharjo, Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren, Pengantar dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun Dari Bawah, Jakarta : P3M, 1985.
M. Dian Nafi', dkk. Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta: ITD, 2007.
M. Natsir Arsyad, Seputar Al-Qur'an, Hadits dan Ilmu. Bandung: Al-Bayan, 1996.
M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta : Diva Pustaka, 2005.
Mujamil Qomar, Pesantren, Dari Transformasi Metodologi Menuju demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga, tt.
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1 Jakarta: Paramadina, 1997.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai Jakarta: LP3ES, 1990.
http://TelaahPesantren.Blogspot.com/2008.
Http//: www.almihrab.com.



[1] Hal ini sudah terbukti, dibalik kesimpangsiuran makna pembangunan pada masa Orde Baru yang menimbulkan kekecewaan yang sangat akut di masyarakat, pesantren terus mengadakan pembenahan dan bahkan mengambil jarak terhadap negara. Hal inilah yang menjadikan sistem pendidikan pesantren patut diperhitungkan. Tentang hal ini, baca Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjojo, cet. pertama (Jakarta: P3M, 1986), hal. 21.
[2] Dari kemerdekaan sampai 2000, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang jauh dari perhatian pemerintah. Pesantren justru lebih akrab dengan rakyat miskin di pedesaan. Karena dengan merekalah pesantren bangkit dan tetap terjaga ketradisionalannya. Manfred Ziemek, Pesantren Dalam... hal. 96.
[3] Manfred Ziemek, Pesantren Dalam... hlm. 16. Bandingkan dengan Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1990) hal. 18.
[4] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1990) hal. 18
[5] Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.3
[6] Selengkapnya, lihat; Mujamil Qomar, Pesantren, Dari Transformasi Metodologi Menuju demokratisasi Institusi. (Jakarta: Erlangga, tt), hlm 8. Lihat juga, Http//: www.almihrab.com.
[7] Selengkapnya, lihat; Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,... hal. 18.
[8] Selengkapnya, lihat; M. Natsir Arsyad, Seputar Al-Qur'an, Hadits dan Ilmu. (Bandung: Al-Bayan, 1996) hlm. 111. Lihat juga, Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm 05.
[9] Manfred Ziemek, Pesantren Dalam... hal. 16.
[10] M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005). hlm. 17.
[11] Sebenarnya, kenyataan ini sesuai dengan harapan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Pasal 8 ayat 2 Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan yaitu, Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
[12] Ketika ada anggaran biaya bagi santri pun masih diperuntukkan untuk alumni ( itupun ketika pemerintah membutuhkan mereka = asas manfaat, artinya ketika pemerintah tidak membutuhkan maka otomatis tidak ada beasiswa bagi alumni pesantren) dan itu pun belajar diluar pesantren (kampus, sebagaimana beasiswa tahqiq al qutub) namun tidak ada beasiswa bagi santri yang masih mukim dan belajar didalam pesantren.
[13] Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, Pertumbuhan dan Perkembangannnya, (Jakarta : Depag, 2003), hlm. 65.
[14] Pendidikan tersebut tidak sesuai dengan budaya dan kondisi bangsa ini. Lihat, Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 8.
[15] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Cet. III,  (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2009), hlm. 13.
[16] Manfred Ziemek, Pesantren …,  hlm. 162.
[17] Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pesantren… hlm. 28.
[18] Mujamil Qomar, Pesantren, Dari Transformasi Metodologi Menuju demokratisasi Institusi. (Jakarta: Erlangga, tt), hlm. 2.
[19] Selengkapnya lihat, Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1995) cetakan ke 5. hlm. 40. Lihat juga, M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), hlm. 10.
[20] Lihat Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan… hlm. 05
[21] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), Hlm. 194.
[22] M. Bahri Ghozali, Pesantren Berwawasan Lingkungan ( Jakarta; Prasasti, 2003 ) hlm. 15.
[23] Dalam istilah Anthony Gidden menyatakan dengan istilah "time-space distanciation" yaitu dunia tanpa batas; ruang dan waktu bukanlah menjadi penghalang. Imam Machalli & Musthofa (edit), Pendidikan Islam & Tantangan Globalisasi. (Yogyakarta: Presma, 2004). Hlm. 107.
[24] Imam Machalli & Musthofa (edit), Pendidikan Islam… hlm. 109.
[25] Ibid., hlm. 109.
[26] Ibid.,
[27] Ibid., hlm. 111-112.
[28] A. Qodri Aziziy, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. (Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2003), hlm. Vii.
[29] Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, (Yogyakarta : Bina Usaha, 1984), hal. 69.
[30] Memuncaknya aliran progresif di Amerika Serikat yang menelorkan kurikulum "child-centered" sebenarnya mengakibatkan peranan guru sangat kecil dalam belajar mengajar. Anak berkembang dan percaya akan dirinya sendiri dengan inisiatif yang dimilikinya. Hal ini memungkinkan anak akan kehilangan pedoman nilainya akibat kebebasan yang diberikan ketika belajar dimasa kecilnya. Anak didik kurang mendapatkan norma-norma yang menjadi ukuran bagi kelakuan mereka. Tidak dapat dipungkiri, perubahan kurikulum yang terjadi dalam pendidikan kita dikarenakan banyak mengadopsi model pendidikan ala barat tanpa adanya filter yang serius dan bahkan salah dalam memahaminya (tidak sesuai dengan kultur budayanya), karena teori barat membedakan pengertian pengajaran dan pendidikan. Dengan kata lain, guru hanya mentrasfer ilmu dan hanya bertugas mengajar ilmu pengetahuaan, sedangkan tugas mendidik adalah menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Ini sangat berbeda dengan pendidikan yang ada dipesantren. Selengkapnya lihat Imam Syafe'ie, Konsep Guru Menurut Al-Ghazali, Pendekatan Filosofis Pedagogik. (Yogyakarta : Duta Pustaka, 1992), hlm. 3.
[31] M. Dawam Raharjo, “Perkembangan Masyarakat dalam Perspektif Pesantren”, Pengantar dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun Dari Bawah (Jakarta : P3M, 1985), hal. vii.
[32] Selanjutnya lihat, M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen… hlm. 19.

No comments:

Post a Comment