Wednesday, November 16, 2011

PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM STUDI ISLAM

Oleh : Ahmad Mustaghfirin
Pendahuluan
"Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud".[1]
Dari ayat diatas dapat dikatakan bahwasanya manusia diciptakan dari tanah dan telah melalui proses yang disempurnakan, maka kemudian ditiupkan Ruh dari Tuhannya. Kedua unsur pokok tersebut (tanah dan ruh) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangan al-Qur'an sebagaimana yang dipahami oleh Imam Ghazali[2] bahwa manusia memiliki aspek yang secara tegas dapat dibedakan menjadi tiga, namun secara pasti tidak dapat dipisahkan.
Ketiga aspek tersebut adalah, pertama; aspek Jasad yang merupakan keseluruhan fisik-biologis, sistem sel, kelenjar, dan sistem syaraf (Psikologi Fisiologi). Kedua, aspek Jiwa/ psikis-psikologis yang merupakan keseluruhan kualitas insaniah yang khas milik manusia, berupa: pikiran, perasaan, dan kemauan (Psikologi Humanistik). Ketiga, aspek Ruh/ spiritual-transendental yang merupakan keseluruhan potensi luhur psikis manusia (Psikologi Transpersonal).[3] Ketiga aspek inilah merupakan pembentuk totalitas manusia.
Dengan demikian, tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi[4] kepada sang Khaliq, dan sebagai khalifah[5] dimuka bumi. Tugas yang dibebankan kepada manusia ini tidaklah berlebihan karena ketiga aspek diatas tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebenarnya tugas ini merupakan relasi integral antara alam, manusia, dan Tuhan. Oleh karena itu, relasi ketiga aspek psikologis manusia diatas harus dapat terintegrasikan demi mencapai tujuan penciptaan dan sekaligus sebagai insan al-kamil.
Karena banyaknya bahasan dalam hal psikologi manusia, maka dalam studi Islam ini, penulis menfokuskan bahasan pada aspek Psikis-psikologis atau dalam hal psikologi humanistik, yaitu mencakup dimensi al-Nafs, al-'Aql, dan al-Qalb. Psikologi humanistik memusatkan perhatian pada sisi kualitas kemanusiaan, berupa: pikiran, perasaan, dan kemauan. Paradigma ini adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan kualitas kemanusiaan.[6]
Pengertian Psikologi dan Studi Islam
Psikologi adalah sebuah istilah yang dipergunakan untuk merujuk bentukan halus dalam diri manusia yang tidak terlihat dan hanya dapat dirasakan. Sesuatu yang tidak tampak itu menimbulkan kesulitan tersendiri dalam memberikan definisi yang tepat. Secara bahasa, psikologi berasal dari bahasa Inggris Psychology yang berasal dari bahasa Yunani Psyche yang artinya jiwa, dan logos yang berarti ilmu pengetahuan.[7] Jadi, psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa. Baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya  maupun latar belakangnya, dengan singkat disebut ilmu jiwa.[8] Namun psikologi dalam bahasa arab sampai sekarang masih disebut ilmu nafs yang berarti ilmu jiwa.[9]
Karena beragamnya para ahli dalam mendefinisikan pengertian psikologi, maka penulis hanya mengutip dua pakar yang mewakili dalam pendefinisian psikologi. Menurut Plato dan Aristotes  bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir. Sedangkan menurut Morgan, C.T. King bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan.[10] Berbeda halnya dalam khazanah keilmuan Islam bahwa psikologi tidak semata sebagai ilmu yang membahas perilaku sebagai fenomena kejiwaan belaka melainkan dibahas dalam konteks sistem kerohanian yang memiliki hubungan vertikal dengan Allah.
Sedangkan studi islam atau studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya.  Dimaklumi  bahwa Islam sebagai agama dan  sistem ajaran telah  menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam  ruang budaya yang beragam. Pola kajian yang dikembangkan dalam studi ini adalah upaya kritis terhadap teks, sejarah, dokrin, pemikiran dan istitusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendektan tertentu, seperti Kalam, Fiqh, fisafat, tasawuf, historis, antropologis, sosiologis, psikologis, yang secara populer di kalangan akademik dianggap ilmiah.
Dengan pendekatan ini kajian tidak disengajakan untuk menemukan atau mempertahankan keimanan atas kebenaran suatu konsep atau ajaran tertentu, melainkan mengkajinya secara ilmiah, yang terbuka ruang  di dalamnya  untuk ditolak, diterima, maupun dipercaya  kebenarannya. Kajian dengan pendekatan semacam ini banyak dilakukan oleh para orientalis atau islamis yang memposisikan diri sebagai outsider (pengkaji islam daru luar) dan insider (pengkaji dari kalangan muslim) dalam studi keislaman kontemporer.[11]
Potensi-potensi Dalam Diri Manusia
Manusia merupakan makhluk yang istimewa dibanding makhluk lainnya, karena disamping memiliki dimensi fisik yang sempurna, ia juga memiliki dimensi roh dengan segala potensinya. Jika potensi jasmani diketahui dari kata basyar, maka untuk mengetahui potensi ruhani dapat dilihat dari kata al-insan. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang memiliki arti melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak.[12]
Sedangkan Quraish Shihab menganalisis kata insan hanya terambil dari kata uns yang berarti jinak dan harmonis. Menurutnya, pendapat di atas, jika dipandang dari sudut pandang al-Qur.an lebih tepat dari yang mengatakan bahwa kata insan diambil dari kata nasiya (lupa) atau dari kata nasa-yanusu (berguncang). Kata insan juga digunakan al-Qur.an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raga.[13]
Manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) memiliki potensi seperti fitrah, qalb, nafs, dan akal. Karena potensi itulah manusia menjadi makhluk yang tinggi martabatnya.[14] Dengan demikian potensi ruhani manusia terdiri dari beberapa unsur pokok, yaitu:
a.      Fitrah
Dari segi bahasa fitrah diambil dari kata al-fathr yang berarti belahan dan dari makna ini lahir makna-makna lainnya antara lain penciptaan atau kejadian. Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya.[15] Sedangkan Muhaimin dan Abdul Mujib memberikan penjelasan rinci tentang arti fitrah yaitu; Pertama, Fitrah berarti suci (thur), yang berarti kesucian dalam jasmani dan rohani. Kedua, Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah swt (tauhid). Ketiga, Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma'rifatullah. Keempat, Fitrah berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature).[16]
Dalam pemahaman potensi fitrah inilah al-Ghazali meneliti keistimewaan potensi fitrah yang dimiliki manusia, Pertama, beriman kepada Allah. Kedua, kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran. Ketiga, dorongan ingin tahu untuk mencari hakekat kebenaran yang berwujud daya berfikir. Keempat, dorongan biologis berupa syahwat (sensual pleasure), ghadhab, dan tabiat (insting).
Fitrah merupakan potensi dasar yang dimiliki manusia sejak ia dilahirkan berupa kecenderungan kepada tauhid serta kesucian jasmani dan rohaninya, dan dalam Islam diakui bahwa lingkungan berpengaruh dalam perkembangan fitrah menuju kesempurnaan dan kebenaran. Oleh karena itu, potensi yang dimiliki manusia harus dikembangkan dan dilestarikan. Manusia secara fitrah telah memiliki watak dan rasa al-tauhid walupun masih didalam imateri (alam rub) hal ini telah digambarkan dalam dialog antara Allah dan ruh yaitu :
Artinya:  Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)". (QS. Al-A'raaf: 172).[17]
Artinya: Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui. (QS. Luqman: 25).[18]
b.      Roh
Roh merupakan kekuatan yang dapat membebaskan diri dari batas-batas materi. Kekuatan jasmani terikat dengan wujud materi dan inderanya, sedangkan kekuatan roh tak satupun materi yang dapat mengikatnya. Ia mempunyai hukum sesuai dengan penciptaan Allah padanya, yakni berhubungan dengan kelanggengan wujud azali.[19] Oleh karena itu al-Kindi mengindentifikasi roh sebagai sesuatu yang tidak tersusun, simpel, dan sederhana tetapi mempunyai arti yang penting sempurna dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Tuhan, hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungannya dengan cahaya dan matahari.[20]
Al-Ghazali membagi pengertian roh menjadi dua macam; pertama, roh yang bersifat jasmani. Roh yang pertama ini merupakan bagian dari jasmani manusia, yaitu zat yang amat halus bersumber dari ruangan hati (jantung) yang menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak serta merasakan berbagai rasa. Roh dapat diumpamakan sebagai lampu yang mampu menerangi setiap sudut organ, inilah yang sering disebut sebagai nafs (jiwa). Kedua, roh yang bersifat rohani. Roh ini merupakan bagian dari rohani manusia mempunyai ciri halus dan ghaib, dengan roh ini manusia dapat mengenal Tuhannya, dan mampu mencapai ilmu yang bermacam-macam. Disamping itu roh ini dapat menyebabkan manusia berprikemanusiaan, berakhlak yang baik dan berbeda dengan binatang.
Dengan demikian, walaupun roh memiliki karakteristik yang halus, abstrak, rahasia dan ghaib, tetapi roh dapat diidentifikasi melalui sifatnya. Roh yang bersifat jasmani merupakan zat yang menentukan hidup dan matinya manusia, sementara roh yang bersifat rohani merupakan substansi manusia yang berasal dari substansi Tuhan, sehingga memiliki potensi untuk berhubungan dengan tuhan atau mengenal Tuhannya.
c.       Qalb
Hati dalam bahasa Arabnya disebut qalb. Menurut ilmu biologi, qalb itu segumpal darah yang terletak di dalam rongga dada, agak ke sebelah kiri, warnanya agak kecoklatan dan berbentuk segitiga. Tetapi yang dimaksud di sini bukanlah hati yang berupa segumpal darah dan bersifat materi itu, melainkan hati yang bersifat immateri. Tentang hati yang bersifat immateri ini, al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin mengidentifikasikan qalb menjadi rahasia setiap manusia dan merupakan anugerah Allah yang paling mulia.[21]
Qalb mempunyai nama-nama lain yang disesuaikan dengan aktivitasnya, ia dapat dikatakan sebagai dhomir karena sifatnya yang tersembunyi, fuad karena sebagai tumpuan tanggung jawab manusia, kabid karena berbentuk benda, luthfu karena sebagai sumber perasaan halus, karena qalb suka berubah-ubah kehendaknya, serta sirr karena bertempat pada tempatnya yang rahasia dan sebagai muara bagi rahasia manusia.[22]
Dengan demikian, potensi yang dimiliki qalb tergantung kepada karakteristik qalb itu sendiri yang berubah-ubah, sehingga dalam penjelasan selanjutnya tentang potensi qalb ini, Dr. Ahmad Mubarak menguraikan kandungan qalb yang memperkuat potensi-potensi itu. Beliau menyebutkan berbagai kondisi qalb yang berubah-ubah, yaitu penyakit, perasaan takut, getaran, kedamaian, keberanian, cinta dan kasih sayang, kebaikan, iman, kedengkian, kufur, kesesatan, penyesalan, panas hati, keraguan, kemunafikan, dan kesombongan.[23]
d.      Nafs
Dalam konteks rohani manusia, yang dimaksud dengan nafs adalah kondisi kejiwaan setiap manusia yang memiliki potensi berupa kemampuan menggerakkan perbuatan yang baik maupun yang buruk.[24]
Al-Ghazali membagi nafs kepada tiga tingkatan, yaitu:
  1. Nafs tingkatan utama, meliputi; Nafs Mardliyah, yaitu nafs yang cenderung melaksanakan petunjuk, guna memperoleh ridho illahi. Nafs Rodliyah, yaitu nafs yang cenderung kepada sifat ikhlas tanpa pamrih atas aktivitas yang dilakukannya. Nafs Muthmainnah, yaitu nafs yang cenderung kepada keharmonisan dan ketenangan. Nafs Kamilah, yaitu nafs yang mengarah kepada pada tingkat kesempurnaan. Nafs Mulhamah, yaitu nafs yang memiliki keutamaan dalam bertindak dan menjauhi perbuatan dengki, rakus dan iri hati.
  2. Nafs Lawwamah, yaitu nafs yang mencerminkan sifat-sifat insaniyah.
  3. Nafs Amarah, yaitu nafs yang mencerminkan sifat-sifat hayawaniyah dan bahamiyah (kehewanan dan kebinatangan).
Dalam ensiklopedi Indonesia, ditampilkan pula ketujuh konsep sebagaimana pendapat Al-Ghazali di atas dengan menggunakan tiga kelompok. Kelompok pertama adalah nafs amarah yang memiliki ciri-ciri dorongan rendah yang bersifat jasmaniah seperti loba, tamak serta cenderung menyakiti hati orang lain. Kelompok kedua adalah nafs lawwamah yang memiliki ciri-ciri sudah menerima nilai-nilai kebaikan tetapi masih cenderung kepada dosa, walaupun akhirnya menyesalinya. Kelompok ketiga adalah nafs-nafs yang berciri baik dan luhur, yaitu: mardliyah, kamilah, mulhamah, muthmainnah, dan radliyah, yang cenderung kepada sifat-sifat keutamaan, kesempurnaan, kerelaan, penyerahan kepada tuhan dan mencapai ketenangan jiwa. Walaupun dalam Al-Qur'an hanya ada tiga macam nafs yang disebutkan jelas jenisnya, pertama nafs amarah (Q.S. Yusuf: 53), kedua nafs lawwamah (Q.S. al-Qiyamah: 2) dan nafs muthmainnah (Q.S. Al-Fajr: 27).[25]
Dengan demikian nafs adalah kondisi kejiwaan setiap menusia yang telah diilhamkan Allah kepadanya kebaikan dan keburukan, sehingga nafs memiliki potensi berupa kemampuan untuk menggerakkan perbuatan yang baik dan buruk. Potensi nafs tersebut ditentukan dari kualitas nafs itu sendiri, jika kualitas nafs itu baik, maka nafs memiliki potensi untuk menggerakkan perbuatan baik, sedangkan jika kualitas nafs itu buruk, maka nafs memiliki potensi untuk menggerakkan perbuatan buruk.
e.       Aql
Manusia dibedakan dengan makhluk lainnya karena manusia dikarunia akal dan kehendak-kehendak (iradah). Akal yang dimaksud adalah berupa potensi, bukan anatomi. Akal memungkinkan manusia untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, mengerjakan yang baik dan menghindari yang buruk.[26] Dengan akal manusia dapat memahami, berpikir, belajar, merencanakan berbagai kegiatan besar, serta memecahkan berbagai masalah sehingga akal merupakan daya yang amat dahsyat yang dikaruniakan Allah kepada manusia.
Menurut Ahmad D. Marimba, akal bermanfaat dalam bidang pengumpulan ilmu pengetahuan, memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, dan mencari jalan-jalan yang lebih efisien untuk memenuhi maksud tersebut. Tetapi pada keadaan yang lain, sebaliknya akal dapat pula berpotensi untuk mencari jalan-jalan ke arah perbuatan yang sesat, mencari alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan yang sesat itu, dan menghasilkan kecongkakan dalam diri manusia bahwa akal itu dapat mengetahui segala-galanya.[27]
Pada intinya adalah bahwa Allah memberikan suatu karunia besar dan maha dahsyat bagi manusia, sebuah daya (kekuatan) yang dapat membawa manusia kepada kebaikan dan manfaat, sebaliknya juga dapat merusak dan membawa madharat. Potensi akal yang dimiliki manusia menjadikannya berbeda dengan makhluk lainnya di muka bumi ini.
Psikologi dan Studi Islam
Obyek formal telaah psikologi adalah manusia dan obyek materialnya adalah tingkah laku manusia.[28] Keberadaan manusia telah banyak dibahas didalam al-Qur'an diantaranya adalah tentang sifat-sifat dan potensinya. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dalam bentuk yang paling sempurna dibanding makhluk lainnya.[29] Kesempurnaan manusia ini dibuktikan dengan pemberian akal yang dapat digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah. Manusia dianjurkan mencari kebenaran untuk menjalani hidup di dunia dan di akhirat kelak karena secara alamiah manusia mempunyai potensi diri.
Proses aktualisasi potensi itu merupakan pencapaian tujuan akhir pendidikan Islam. Islam dapat dilihat mempunyai dua komponen, yaitu ibadah (aktifitas penyembahan) dan mu'amalah (interaksi dengan sesama manusia).[30] Keduanya terjalin secara erat dan saling berkaitan dalam banyak hal. Interaksi dengan sesama dan keterkaitan atas keduanya yang dipengaruhi oleh perasaan, pikiran dan kemauan yang dimiliki oleh manusia akan menghasilkan pengakuan yaitu pengakuan atas keberadaan dan tanggung jawabnya sebagai abdullah dan khalifah.
Sedangkan untuk mengaktualisasikan tugas ganda sebagai abdullah dan khalifah maka Allah telah melengkapi manusia dengan sejumlah potensi dalam dirinya. Potensi yang dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab adalah al-Nafs,[31] al-'Aql,[32] dan al-Qalb[33]. Dimensi nafsu memiliki dua daya utama yaitu daya ghadab (marah) dan daya syahwat (senang). Daya ghadab adalah daya untuk menghindari sesuatu yang membahayakan atau hal yang tidak menyenangkan. Sedangkan daya syahwat adalah daya untuk merebut dan mendorong kepada hal-hal yang memberikan kenikmatan.[34]
Sementara dimensi Aql memiliki daya mengetahui dan memahami. Daya mengetahui itu muncul sebagai akibat adaya daya fikir seperti memikirkan, memperhatikan, menginterpretasikan. Sedangkan dimensi Qalb memiliki dua daya yaitu daya memahami dan daya merasakan. Daya memahami pada Qalb (disamping menggunakan daya memahami dan merasakan) memiliki daya persepsi Ruhaniah yang sifatnya menerima, yaitu memahami yang haqq dan ilham /ilmu dari Tuhan. Dengan demikian, jiwa manusia mampu menangkap pengetahuan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan Aql dan Qalb.[35]
Manusia bebas menentukan tingkah lakunya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kemauannya, namun pada saat yang bersamaan, manusia juga bertanggung jawab terhadap lingkungan alam, manusia, dan Tuhannya. Tanggung jawabnya terhadap alam adalah untuk melestarikannya, tanggung jawabnya terhadap sesama manusia adalah mensejahterakannya, dan tanggung jawab terhadap Tuhan adalah untuk mencari Ridla-Nya.
Islam sebagai petunjuk tentang ketundukan total kepada Allah dimaksudkan tidak hanya bagi orang-orang tertentu, tetapi bagi seluruh umat manusia. Universalisme Islam ini berarti bahwa semua manusia, baik sesama individu, sesama kelompok, maupun sesama bangsa adalah sama dihadapan Allah. Seseorang atau kelompok tidak dinilai berdasarkan keturunan atau kesempurnaan fisik seseorang tetapi berdasarkan keimanan, kehidupan yang lebih baik, dan perhatiannya kepada kesejahteraan orang lain.[36]
Pendekatan Psikologi Dalam Studi Islam
Manusia adalah makhluk Tuhan yang dalam perkembangan jasmaniah dan ruhaniahnya selalu memerlukan bimbingan dan pengarahan melalui proses pendidikan. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa dan pertumbuhan jasmani dalam pengertian bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari psikologis.[37]
Psikologi Islami memandang bahwa manusia selalu dalam proses berhubungan dengan alam, manusia, dan Tuhan.[38] Hubungan manusia dengan alam sangat diperlukan untuk menghargai dan menghormati terhadap ciptaannya sehingga manusia mampu menjaga lingkungan yang baik. Sedangkan hubungan manusia dengan sesamanya yaitu menjaga dan melindungi harga dan martabat sebagai manusia, karena manusia diciptakan sama, maka sikap dan tindakan jangan sampai mengakibatkan perpecahan dan permusuhan. Sementara manusia dengan Tuhan tiada lain untuk menciptakan hubungan penghambaan yang baik, karena manusia diciptakan oleh Allah dengan penuh kasih sayang.
Dalam pandangan psikologis humanistik, manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dari aspek kemauan[39], kebebasan, perasaan, dan pikiran untuk mengungkap makna hidup dengan berdasarkan nilai-nilai ketauhidan sehingga manusia mampu mengembangkan potensi dan kualitas hidup yang Islami.[40] Oleh karena itu, konsep tersebut mengintegrasikan hubungan piramida antara nafs, akal, dan hati ke dalam konteks psikologis manusia dengan berdasarkan pada ajaran-ajaran wahyu. Hubungan konsep psikologis humanistik tersebut, akan melahirkan kreatifitas hidup sebagaimana yang telah dipesankan Tuhan dalam al-Qur'an yaitu semangat untuk berpikir, kemauan berbuat kebaikan dan menciptakan nilai-nilai spritualitas yang tinggi demi kualitas hidup manusia secara universal.
Ketika manusia menghadapi alam semesta yang mengagumkan dalam lubuk hatinya yang terdalam, maka manusia telah dapat mengetahui adanya Dzat yang maha suci lagi maha segalanya. Untuk mengetahui Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang tidak perlu menunggu wahyu turun. Namun, dari pengalaman-pengalaman yang pernah ia alami dan bahkan dapat dirasakan oleh siapa pun, merupakan salah satu cara untuk mengenal Dzat tersebut. Pengalaman-pengalaman batin yang mendalam inilah yang dinamakan ilmu al-hudury.[41]
Semua pengalaman tersebut dapat dirasakan oleh semua manusia, apapun warna kulit dan agamanya, tanpa mengatakan terlebih dahulu siapa dan dari mana asalnya. Kebenaran epistemologi irfani dapat dirasakan secara langsung. Pemisah yang berupa formalitas lahiriyah yang dibuat oleh lingkungan dan tradisi, dikesampingkan oleh berfikir irfani dan menggantikannya dengan nalar epistemologi irfani.
Oleh karena itu, ajaran tauhid yang merupakan ajaran yang paling mendasar dan penting dari Islam[42] dapat dirasakan oleh siapapun. Dengan demikian, penegasan terhadap kenyataan diri yang sesungguhnya bahwa penguasa segala sesuatu adalah satu, namun tidak semata berarti suatu bilangan. KeEsaan Allah diluar bilangan, ini untuk menjelaskan atas keistimewaan-Nya. Ke Esaan Allah akan terwujud dalam dunia sekeliling manusia, dalam keharmonisan, keteraturan, dan keindahan ciptaannya tanpa adanya sekat yeng memisahkan.[43] Dengan demikian, yang terpenting dari segala dasar ini adalah pengakuan dan pengimanan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang terdapat dalam surah Al-Ikhlas.
Artinya; Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa" (QS. Al-Ikhlas, 112 : 1).[44]
Ayat diatas dipertegas dengan ayat lain yang menunjukkan bahwa Dialah pencipta segala yang ada, yaitu terdapat pada QS. Al-An'am, 102.;
Artinya: (yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. (QS. Al-An'am: 102).[45]
Pengakuan terhadap Tuhan Esa dapat dirasakan dan dipercayai oleh manusia ketika ia menggunakan olah pikir hati dan dukungan olah pikir akal. Iman berarti keselamatan atau keamanan, dan ini melibatkan pengakuan dihati dan perbuatan anggota badan, yang keduanya diperkuat oleh kemampuan olah pikir. Beriman kepada Allah dalam hal ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa hal itu memberikan kerangka dasar dimana moralitas harus dilaksanakan. Manusia dapat memilih moralitas tanpa agama, namun kondisi ini akan membawa manusia kepada bencana ideologi komunisme.
Dasar lain dari pengakuan adalah mengakui atas kerasulan Muhammad, wahyu, dan kitab suci. Salah satu ajaran dasar lain dalam Islam ialah bahwa manusia itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Islam berpendapat bahwa hidup manusia di dunia ini tidak bisa terlepas dari hidup manusia di akhirat. Bahwa lebih dari itu, corak hidup manusia di dunia ini menentukan corak hidupnya di akhirat kelak.[46] Prinsip-prinsip ajaran tersebut harus dilakukan oleh umat Islam untuk mengembangkan kesadaran spritual untuk meningkatkan kualitas dan potensi hidup secara Islami.
Semangat konsep psikologis humanistik mengisi dan mengembangkan bahkan mengkritik konsep-konsep Barat yang cenderung mengedepankan konsep pemisahan agama dengan ilmu pengetahuan. Simbol yang menyolok dari arogansi manusia ini adalah penyombongan terhadap Titanic yang tenggelam ke dalam lautan Allah pada musim semi tahun 1912.[47] Salah satu bukti kritikan terhadap Barat tentang perkembangan psikologis yaitu Sigmund Freud dalam teori psikoalisis yang menyatakan bahwa, anatomi tubuh manusia ada tiga kategori yaitu, Id, Ego, dan Super Ego yang tidak dapat dipisahkan.[48] Menurutnya, yang lebih dominan dalam struktur psikis manusia bawah sadar adalah Id dan memandang manusia sebagai makhluk yang sangat ditentukan oleh masa lalunya.
Teori ini dipandang sebagai teori yang menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam diri manusia. Teori ini hanya menjelaskan adanya kebutuhan manusia yang paling mendasar, yaitu kebutuhan fisiologis. Namun teori ini belum mampu menjelaskan kebutuhan-kebutuhan luhur (mulia) dari diri manusia. Sejalan dengan itu, teori ini juga belum mampu menjelaskan tentang kebutuhan manusia terhadap agama dan adanya dorongan iman sebagai penggerak seseorang untuk bertingkah laku.[49] Manusia tidak dibebaskan begitu saja tanpa adanya pergerakan hati mereka untuk memilih. Setiap manusia dilahirkan sebagai muslim pada saat awal penciptaannya.
Manusia adalah sekumpulan kontradiksi, yaitu diciptakan secara fitrah dalam keadaan beriman tetapi mereka juga memiliki kecenderungan untuk mengikuti nafsu atau keinginan jasmaninya. Keadaan ini justru merupakan kekuatan besar untuk melaksanakan tugas sebagai hamba dan khalifah karena akan mudah menerima ajaran agama yaitu Islam, suatu agama yang sesuai dengan fitrah kejadian manusia, agama yang mengatur hubungan manusia dan Tuhan, manusia dengan sesamannya dan manusia dengan alam lainnya.[50]
Kesimpulan
Potensi manusia yang berupa pikiran, perasaan, dan kemauan yang diaktualkan kepada pengakuan tentang ke Esaan Allah bukanlah sebagai argumentasi filosofis melaikan penegasan bahwa manusia memang mengakuinya. Demikianlah mereka mengikuti seruan Allah. Tauhid berarti pengetahuan bahwa Allah sebagai satu-satunya penguasa yang berkuasa atas alam semesta. Pengetahuan ini bukanlah hasil dari kepercayaan tetapi ia adalah dasar kepercayaan. Kesadaran akan tauhid adalah bagian dari pengetahuan yang Allah ciptakan dalam diri setiap manusia pada sifat fitrahnya.
Islam adalah kepastian mutlak atas ke Esaan Allah. Keimanan dan ke Esaan Allah menunjukkan persatuan makhluk, kemanusiaan dan umat Islam. Ini adalah kerangka dimana agama dan moralitas harus ditetapkan. Iman dalam analisa akhir merupakan suatu analisa sikap. Seorang dapat menjadi muslim dan akan hidup dalam kedamaian ditengah masyarakat, tetapi jika seseorang tidak memiliki keimanan ia adalah seorang munafik.


Daftar Pustaka
Abdul Rahman Shaleh & Wahab, Muhib Abdul. Psikologi Suatu Pengantar, Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Prenada Media, Cet. II, 2005.
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sisitem Islam, Jakarta : Gema Insani, 2004.
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Ayoub, Mahmoud M. Islam: Antara Keyakinan & Praktik Ritual, Refleksi Cendikiawan Muslim Untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, terj. Nur Hidayat, Yogyakarta : AK. Group, 2004.
Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2005.
______________, Paradigma Psikologi Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2004.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Bandung: Al-Jumanatul 'Ali-ART, 2007.
Fauzi, Ahmad. Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru, 2003.
______________, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, Cet. III, 1985.
______________, Teori-teori Kesehatan Mental, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Islam dan Pembinaan Kepribadian, Jakarta: Akademika Pressindo, Cet I, 1995.
Manzur, Ibn. Lisan al-Arab, Jilid VII, Mesir: Daar al-Mishriyyah, 1968.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma.arif, Cet. VIII, 1989.
Muhaimin dan Mujib, Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Tri Genda Karya, Cet. I, 1993.
Mutiah, Diana. Psikologi Bermain Anak Usia Dini, Jakarta: Kencana, 2010.
Nashori, Fuad. Potensi-potensi Manusia, Seri Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2005.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IX, 1995.
______________, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Pres, Jilid I, 1985.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedi Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, Cet.I, 1996.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, Cet. III, 1996.
Umary, Barmawie. Materi Akhlak, Solo: Ramadhani, Cet. I, 1989.



[1] QS. Al-Hijr, 15 : 29.
[2] Fuad Nashori, Potensi-potensi Manusia, Seri Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2005), hlm. 111.
[3] Senada dengan al-Ghazali, Baharuddin membedakan aspek manusia terdiri dari Jismiah, Nafsiah, dan Ruhaniah. Selengkapnya lihat, Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari al-Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2004), hlm. Xiii / 160.
[4] QS. Al-Dzariyaat, 51: 56.
[5] QS. Al-Baqarah, 2 : 30.
[6] Manusialah yang menentukan dan berkuasa atas dirinya sendiri dengan dorongan aspek nafs, aql dan qalb. Baharuddin, Paradigma, hlm. Xiv.
[7] Abdul Rahman Shaleh & Muhib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar, Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Prenada Media, Cet. II, 2005), hlm. 1.
[8] Ahmad Fauzi, Psikologi Umum (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 10.
[9] Diana Mutiah, Psikologi Bermain Anak Usia Dini (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 1.
[10] Abdul Rahman Shaleh & Muhib Abdul Wahab, Psikologi, hlm. 5-6.
[12] Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Mesir: Daar al-Mishriyyah, Jilid VII, 1968), hlm. 306-314.
[13] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), hlm. 278.
[14] Barmawie Umary, Materi Akhlak (Solo: Ramadhani, Cet. I, 1989), hlm. 21.
[15] M. Quraish Shihab, Wawasan, hlm. 65.
[16] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Tri Genda Karya, Cet. I, 1993), hlm. 13-19.
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Bandung: Al-Jumanatul 'Ali -ART, 2007).
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
[19] Ali Abdul Halim Mahmud, Islam dan Pembinaan Kepribadian (Jakarta: Akademika Pressindo, Cet I, 1995), hlm. 51.
[20] Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IX, 1995), hlm. 17.
[21] Barmawie Umary, Materi, hlm. 16.
[22] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran, hlm. 40-41.
[23] Ibid., hlm. 114.
[24] Ibid., hlm. 50.
[25] M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, Cet. I, 1996), hlm. 264-265.
[26] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka Al Husna, Cet. III, 1985), hlm. 224.
[27] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al Ma.arif, Cet. VIII, 1989), hlm. 111.
[28] Baharuddin, Paradigma, hlm. 287.
[29] Bentuk yang paling sempurna tersebut dilengkapi lagi dengan Aql. Al-Aql dapat bermakna kecerdasan, karena itulah manusia dapat mengikat dan menahan hawa nafsunya. Dengan Aql tersebut, manusia mampu membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Baharuddin, Paradigma, hlm. 115.
[30] Mahmoud M. Ayoub, Islam: Antara Keyakinan & Praktik Ritual, Refleksi Cendikiawan Muslim Untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, terj. Nur Hidayat (Yogyakarta : AK. Group, 2004), hlm. 125.
[31] Kata nafs menunjukkan manusia sebagai makhluk hidup yang asalnya satu, berkembang biak, bekerja dan merasa. Kata nafs juga kadang menunjukkan watak dan inti manusia. Lihat, Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru, 2003), hlm. 265.
[32] Kata al-'Aql dalam al-Qur'an dengan berbagai bentuknya sebagai kata kerja yang semuanya menunjukkan arti pemikiran pada manusia. Dimensi inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Ibid., hlm. 267.
[33] Arti al-Qalb kebanyakan berkisar pada arti perasaan dan intelektual manusia. Oleh karena itu, ia sebagai dasar bagi fitrah yang sehat. Tetapi al-Qalb tidak selalu merupakan wadah petunjuk dan iman tetapi kadang juga menunjukkan kepada dosa dan maksiat seperti yang terdapat pada QS. Al-Hijr, 15 : 12, QS. Al-Baqarah, 2: 283. Ibid., hlm. 266.
[34] Baharuddin, Paradigma, hlm. 231.
[35] Ibid., hlm. 233-235.
[36] Manusia mempunyai potensi yang esensial yaitu berupa al-Nafs. Potensi yang mewadahi potensi-potensi dari dimensi psikis berupa baik maupun buruk. Ibid., hlm. 92.
[37] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 103.
[38] Menurut hemat penulis, istilah Psikologi Islami kurang tepat dipakai karena akan mengaburkan keberadaan dan sumber ilmu karena ilmu adalah satu dan dari sumber yang satu pula yaitu Tuhan, sehingga tidak ada yang Islami atau non Islami. Baharuddin, Paradigma, hlm. 391.
[39] Kemauan yang ada dalam diri manusia merupakan kekuatan yang senantiasa mendorong, mendesak dan menyusun aktifitas manusia. Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992), hlm. 202.
[40] Baharuddin, Paradigma, hlm. 306.
[41] M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 208.
[42] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Pres, Jilid I, 1985), hlm. 30.
[43] Mahmoud M. Ayoub, Islam, hlm. 12-13.
[44] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
[45] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
[46] Harun Nasution, Islam, hlm. 31.
[47] Ini menunjukkan bahwa kemampuan manusia sangat terbatas dan dibalik semuanya ada yang menggerakkan. Keberadaan al-'Aql (dengan didukung an-Nafs) lebih mendominasi dibanding dengan al-Qalb yang terdapat dalam diri setiap manusia. Umat Islam percaya bahwa Allah yang menjalankan sejarah manusia, karena manusia adalah ciptaan Allah. Oleh sebab itu, yang diperlukan bukanlah humanisme yang menentang manusia dan aktifitas-aktifitasnya tetapi iman kepada Allah dimana nilai sosial, moral, dan sosial dapat diaktualisasikan. Mahmoud M. Ayoub, Islam: Antara, hlm. 134.
[48] Sigmund Freud lahir di Austeria dari keluarga Yahudi sekitar abad 19 yang terkenal dengan zaman pendewaan terhadap sains. Hasan Langgulung, Teori-teori, hlm. 313. Lihat juga, Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2005), hlm. 104. Baharuddin, Paradigma, hlm. 288.
[49] Baharuddin, Aktualisasi, hlm. 124.
[50] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sisitem Islam (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 36.

No comments:

Post a Comment