Oleh : Ahmad
Mustaghfirin
Pendahuluan
Pendahuluan
"Maka apabila Aku Telah
menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud".[1]
Dari ayat diatas dapat
dikatakan bahwasanya manusia diciptakan dari tanah dan telah melalui proses
yang disempurnakan, maka kemudian ditiupkan Ruh dari Tuhannya. Kedua unsur
pokok tersebut (tanah dan ruh) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Dalam pandangan al-Qur'an sebagaimana yang dipahami oleh Imam Ghazali[2]
bahwa manusia memiliki aspek yang secara tegas dapat dibedakan menjadi tiga, namun
secara pasti tidak dapat dipisahkan.
Ketiga aspek tersebut adalah,
pertama; aspek Jasad yang merupakan keseluruhan fisik-biologis, sistem sel,
kelenjar, dan sistem syaraf (Psikologi Fisiologi). Kedua, aspek Jiwa/ psikis-psikologis
yang merupakan keseluruhan kualitas insaniah yang khas milik manusia, berupa:
pikiran, perasaan, dan kemauan (Psikologi Humanistik). Ketiga, aspek Ruh/ spiritual-transendental
yang merupakan keseluruhan potensi luhur psikis manusia (Psikologi
Transpersonal).[3]
Ketiga aspek inilah merupakan pembentuk totalitas manusia.
Dengan demikian, tujuan
penciptaan manusia adalah untuk mengabdi[4]
kepada sang Khaliq, dan sebagai khalifah[5]
dimuka bumi. Tugas yang dibebankan kepada manusia ini tidaklah berlebihan
karena ketiga aspek diatas tidak dimiliki oleh makhluk lain. Sebenarnya tugas
ini merupakan relasi integral antara alam, manusia, dan Tuhan. Oleh karena itu,
relasi ketiga aspek psikologis manusia diatas harus dapat terintegrasikan demi
mencapai tujuan penciptaan dan sekaligus sebagai insan al-kamil.
Karena banyaknya
bahasan dalam hal psikologi manusia, maka dalam studi Islam ini, penulis
menfokuskan bahasan pada aspek Psikis-psikologis atau dalam hal psikologi humanistik,
yaitu mencakup dimensi al-Nafs, al-'Aql, dan al-Qalb. Psikologi humanistik memusatkan
perhatian pada sisi kualitas kemanusiaan, berupa: pikiran, perasaan, dan
kemauan. Paradigma ini adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan
kualitas kemanusiaan.[6]
Pengertian
Psikologi dan Studi Islam
Psikologi adalah
sebuah istilah yang dipergunakan untuk merujuk bentukan halus dalam diri
manusia yang tidak terlihat dan hanya dapat dirasakan. Sesuatu yang tidak
tampak itu menimbulkan kesulitan tersendiri dalam memberikan definisi yang
tepat. Secara bahasa, psikologi berasal dari bahasa Inggris Psychology
yang berasal dari bahasa Yunani Psyche yang artinya jiwa, dan logos yang
berarti ilmu pengetahuan.[7]
Jadi, psikologi artinya ilmu yang
mempelajari tentang jiwa. Baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya, dengan singkat
disebut ilmu jiwa.[8] Namun
psikologi dalam bahasa arab sampai sekarang masih disebut ilmu nafs yang
berarti ilmu jiwa.[9]
Karena beragamnya para
ahli dalam mendefinisikan pengertian psikologi, maka penulis hanya mengutip dua
pakar yang mewakili dalam pendefinisian psikologi. Menurut Plato dan
Aristotes bahwa psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
Sedangkan menurut Morgan, C.T. King bahwa psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia dan hewan.[10]
Berbeda halnya dalam khazanah keilmuan Islam bahwa psikologi tidak semata
sebagai ilmu yang membahas perilaku sebagai fenomena kejiwaan belaka melainkan
dibahas dalam konteks sistem kerohanian yang memiliki hubungan vertikal dengan
Allah.
Sedangkan studi islam atau
studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang
membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan
umatnya. Dimaklumi bahwa Islam sebagai agama dan sistem
ajaran telah menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke
generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam ruang budaya yang
beragam. Pola kajian yang dikembangkan dalam studi ini adalah upaya kritis
terhadap teks, sejarah, dokrin, pemikiran dan istitusi keislaman dengan
menggunakan pendekatan-pendektan tertentu, seperti Kalam, Fiqh, fisafat, tasawuf,
historis, antropologis, sosiologis, psikologis, yang secara populer di kalangan
akademik dianggap ilmiah.
Dengan
pendekatan ini kajian tidak disengajakan untuk menemukan atau mempertahankan
keimanan atas kebenaran suatu konsep atau ajaran tertentu, melainkan
mengkajinya secara ilmiah, yang terbuka ruang di dalamnya untuk
ditolak, diterima, maupun dipercaya kebenarannya. Kajian dengan pendekatan
semacam ini banyak dilakukan oleh para orientalis atau islamis yang
memposisikan diri sebagai outsider (pengkaji islam daru luar) dan insider
(pengkaji dari kalangan muslim) dalam studi keislaman kontemporer.[11]
Potensi-potensi Dalam Diri
Manusia
Manusia
merupakan makhluk yang istimewa dibanding makhluk lainnya, karena disamping
memiliki dimensi fisik yang sempurna, ia juga memiliki dimensi roh dengan
segala potensinya. Jika potensi jasmani diketahui dari kata basyar, maka
untuk mengetahui potensi ruhani dapat dilihat dari kata al-insan. Kata insan
mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang memiliki
arti melihat, mengetahui dan minta izin. Yang kedua berasal dari kata nasiya
yang berarti lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya
jinak.[12]
Sedangkan
Quraish Shihab menganalisis kata insan hanya terambil dari kata uns yang
berarti jinak dan harmonis. Menurutnya, pendapat di atas, jika dipandang dari
sudut pandang al-Qur.an lebih tepat dari yang mengatakan bahwa kata insan
diambil dari kata nasiya (lupa) atau dari kata nasa-yanusu (berguncang).
Kata insan juga digunakan al-Qur.an untuk menunjuk kepada manusia dengan
seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raga.[13]
Manusia
sebagai makhluk psikis (al-insan) memiliki potensi seperti fitrah, qalb,
nafs, dan akal. Karena potensi itulah manusia menjadi makhluk yang tinggi
martabatnya.[14]
Dengan demikian potensi ruhani manusia terdiri dari beberapa unsur pokok,
yaitu:
a. Fitrah
Dari segi bahasa fitrah diambil dari kata al-fathr yang
berarti belahan dan dari makna ini lahir makna-makna lainnya antara lain
penciptaan atau kejadian. Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau
bawaan sejak lahirnya.[15]
Sedangkan Muhaimin dan Abdul Mujib memberikan penjelasan rinci tentang arti
fitrah yaitu; Pertama, Fitrah berarti suci (thur), yang berarti
kesucian dalam jasmani dan rohani. Kedua, Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an
Allah swt (tauhid). Ketiga, Fitrah berarti potensi dasar manusia
sebagai alat untuk mengabdi dan ma'rifatullah. Keempat, Fitrah
berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature).[16]
Dalam pemahaman potensi fitrah inilah al-Ghazali meneliti
keistimewaan potensi fitrah yang dimiliki manusia, Pertama, beriman
kepada Allah. Kedua, kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan
keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran. Ketiga,
dorongan ingin tahu untuk mencari hakekat kebenaran yang berwujud daya
berfikir. Keempat, dorongan biologis berupa syahwat (sensual
pleasure), ghadhab, dan tabiat (insting).
Fitrah merupakan potensi
dasar yang dimiliki manusia sejak ia dilahirkan berupa kecenderungan kepada
tauhid serta kesucian jasmani dan rohaninya, dan dalam Islam diakui bahwa
lingkungan berpengaruh dalam perkembangan fitrah menuju kesempurnaan dan
kebenaran. Oleh karena itu, potensi yang dimiliki manusia harus dikembangkan
dan dilestarikan. Manusia secara fitrah telah
memiliki watak dan rasa al-tauhid walupun masih didalam imateri (alam rub) hal
ini telah digambarkan dalam
dialog antara Allah dan ruh yaitu :
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)". (QS.
Al-A'raaf: 172).[17]
Artinya: Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan
kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu
mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi
Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui. (QS. Luqman: 25).[18]
b. Roh
Roh merupakan kekuatan yang dapat membebaskan diri dari batas-batas
materi. Kekuatan jasmani terikat dengan wujud materi dan inderanya, sedangkan
kekuatan roh tak satupun materi yang dapat mengikatnya. Ia mempunyai hukum
sesuai dengan penciptaan Allah padanya, yakni berhubungan dengan kelanggengan
wujud azali.[19]
Oleh karena itu al-Kindi mengindentifikasi roh sebagai sesuatu yang tidak
tersusun, simpel, dan sederhana tetapi mempunyai arti yang penting sempurna dan
mulia. Substansinya berasal dari substansi Tuhan, hubungannya dengan Tuhan sama
dengan hubungannya dengan cahaya dan matahari.[20]
Al-Ghazali membagi pengertian roh menjadi dua macam; pertama,
roh yang bersifat jasmani. Roh yang pertama ini merupakan bagian dari jasmani
manusia, yaitu zat yang amat halus bersumber dari ruangan hati (jantung) yang
menjadi pusat semua urat (pembuluh darah), yang mampu menjadikan manusia hidup
dan bergerak serta merasakan berbagai rasa. Roh dapat diumpamakan sebagai lampu
yang mampu menerangi setiap sudut organ, inilah yang sering disebut sebagai nafs
(jiwa). Kedua, roh yang bersifat rohani. Roh ini merupakan bagian
dari rohani manusia mempunyai ciri halus dan ghaib, dengan roh ini manusia
dapat mengenal Tuhannya, dan mampu mencapai ilmu yang bermacam-macam. Disamping
itu roh ini dapat menyebabkan manusia berprikemanusiaan, berakhlak yang baik
dan berbeda dengan binatang.
Dengan demikian, walaupun roh memiliki karakteristik yang halus,
abstrak, rahasia dan ghaib, tetapi roh dapat diidentifikasi melalui sifatnya.
Roh yang bersifat jasmani merupakan zat yang menentukan hidup dan matinya
manusia, sementara roh yang bersifat rohani merupakan substansi manusia yang
berasal dari substansi Tuhan, sehingga memiliki potensi untuk berhubungan
dengan tuhan atau mengenal Tuhannya.
c. Qalb
Hati dalam bahasa Arabnya disebut qalb. Menurut ilmu biologi,
qalb itu segumpal darah yang terletak di dalam rongga dada, agak ke
sebelah kiri, warnanya agak kecoklatan dan berbentuk segitiga. Tetapi yang
dimaksud di sini bukanlah hati yang berupa segumpal darah dan bersifat materi
itu, melainkan hati yang bersifat immateri. Tentang hati yang bersifat immateri
ini, al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin mengidentifikasikan qalb
menjadi rahasia setiap manusia dan merupakan anugerah Allah yang paling
mulia.[21]
Qalb mempunyai nama-nama lain yang
disesuaikan dengan aktivitasnya, ia dapat dikatakan sebagai dhomir karena
sifatnya yang tersembunyi, fuad karena sebagai tumpuan tanggung jawab
manusia, kabid karena berbentuk benda, luthfu karena sebagai
sumber perasaan halus, karena qalb suka berubah-ubah kehendaknya, serta sirr
karena bertempat pada tempatnya yang rahasia dan sebagai muara bagi rahasia
manusia.[22]
Dengan demikian, potensi yang dimiliki qalb tergantung kepada
karakteristik qalb itu sendiri yang berubah-ubah, sehingga dalam
penjelasan selanjutnya tentang potensi qalb ini, Dr. Ahmad Mubarak
menguraikan kandungan qalb yang memperkuat potensi-potensi itu. Beliau
menyebutkan berbagai kondisi qalb yang berubah-ubah, yaitu penyakit, perasaan
takut, getaran, kedamaian, keberanian, cinta dan kasih sayang, kebaikan, iman,
kedengkian, kufur, kesesatan, penyesalan, panas hati, keraguan, kemunafikan,
dan kesombongan.[23]
d. Nafs
Dalam konteks rohani manusia, yang dimaksud dengan
nafs adalah kondisi kejiwaan setiap manusia yang memiliki potensi berupa
kemampuan menggerakkan perbuatan yang baik maupun yang buruk.[24]
Al-Ghazali
membagi nafs kepada tiga tingkatan, yaitu:
- Nafs tingkatan utama,
meliputi; Nafs Mardliyah, yaitu nafs yang cenderung melaksanakan
petunjuk, guna memperoleh ridho illahi. Nafs Rodliyah, yaitu nafs yang
cenderung kepada sifat ikhlas tanpa pamrih atas aktivitas yang dilakukannya. Nafs
Muthmainnah, yaitu nafs yang cenderung kepada keharmonisan dan
ketenangan. Nafs Kamilah, yaitu nafs yang mengarah kepada pada
tingkat kesempurnaan. Nafs Mulhamah, yaitu nafs yang memiliki
keutamaan dalam bertindak dan menjauhi perbuatan dengki, rakus dan iri hati.
- Nafs Lawwamah, yaitu nafs yang
mencerminkan sifat-sifat insaniyah.
- Nafs Amarah, yaitu nafs yang
mencerminkan sifat-sifat hayawaniyah dan bahamiyah (kehewanan dan
kebinatangan).
Dalam ensiklopedi Indonesia, ditampilkan pula ketujuh konsep
sebagaimana pendapat Al-Ghazali di atas dengan menggunakan tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah nafs amarah yang memiliki ciri-ciri dorongan
rendah yang bersifat jasmaniah seperti loba, tamak serta cenderung menyakiti
hati orang lain. Kelompok kedua adalah nafs lawwamah yang memiliki
ciri-ciri sudah menerima nilai-nilai kebaikan tetapi masih cenderung kepada
dosa, walaupun akhirnya menyesalinya. Kelompok ketiga adalah nafs-nafs yang
berciri baik dan luhur, yaitu: mardliyah, kamilah, mulhamah, muthmainnah, dan
radliyah, yang cenderung kepada sifat-sifat keutamaan, kesempurnaan,
kerelaan, penyerahan kepada tuhan dan mencapai ketenangan jiwa. Walaupun dalam
Al-Qur'an hanya ada tiga macam nafs yang disebutkan jelas jenisnya, pertama
nafs amarah (Q.S. Yusuf: 53), kedua nafs lawwamah (Q.S. al-Qiyamah: 2) dan nafs
muthmainnah (Q.S. Al-Fajr: 27).[25]
Dengan demikian nafs adalah
kondisi kejiwaan setiap menusia yang telah diilhamkan Allah kepadanya kebaikan
dan keburukan, sehingga nafs memiliki potensi berupa kemampuan untuk
menggerakkan perbuatan yang baik dan buruk. Potensi nafs tersebut ditentukan
dari kualitas nafs itu sendiri, jika kualitas nafs itu baik, maka nafs memiliki
potensi untuk menggerakkan perbuatan baik, sedangkan jika kualitas nafs itu
buruk, maka nafs memiliki potensi untuk menggerakkan perbuatan buruk.
e. Aql
Manusia dibedakan dengan makhluk lainnya karena manusia dikarunia
akal dan kehendak-kehendak (iradah). Akal yang dimaksud adalah berupa
potensi, bukan anatomi. Akal memungkinkan manusia untuk membedakan antara yang
benar dan yang salah, mengerjakan yang baik dan menghindari yang buruk.[26]
Dengan akal manusia dapat memahami, berpikir, belajar, merencanakan berbagai
kegiatan besar, serta memecahkan berbagai masalah sehingga akal merupakan daya
yang amat dahsyat yang dikaruniakan Allah kepada manusia.
Menurut Ahmad D. Marimba, akal bermanfaat dalam bidang pengumpulan
ilmu pengetahuan, memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, dan mencari
jalan-jalan yang lebih efisien untuk memenuhi maksud tersebut. Tetapi pada
keadaan yang lain, sebaliknya akal dapat pula berpotensi untuk mencari
jalan-jalan ke arah perbuatan yang sesat, mencari alasan untuk membenarkan
perbuatan-perbuatan yang sesat itu, dan menghasilkan kecongkakan dalam diri
manusia bahwa akal itu dapat mengetahui segala-galanya.[27]
Pada intinya adalah bahwa Allah memberikan suatu karunia besar dan
maha dahsyat bagi manusia, sebuah daya (kekuatan) yang dapat membawa manusia
kepada kebaikan dan manfaat, sebaliknya juga dapat merusak dan membawa
madharat. Potensi akal yang dimiliki manusia menjadikannya berbeda dengan
makhluk lainnya di muka bumi ini.
Psikologi dan Studi Islam
Obyek formal telaah
psikologi adalah manusia dan obyek materialnya adalah tingkah laku manusia.[28]
Keberadaan manusia telah banyak dibahas didalam al-Qur'an diantaranya adalah
tentang sifat-sifat dan potensinya. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan
dalam bentuk yang paling sempurna dibanding makhluk lainnya.[29]
Kesempurnaan manusia ini dibuktikan dengan pemberian akal yang dapat digunakan
untuk membedakan yang baik dan yang buruk, benar dan salah. Manusia dianjurkan
mencari kebenaran untuk menjalani hidup di dunia dan di akhirat kelak karena
secara alamiah manusia mempunyai potensi diri.
Proses aktualisasi
potensi itu merupakan pencapaian tujuan akhir pendidikan Islam. Islam dapat
dilihat mempunyai dua komponen, yaitu ibadah (aktifitas penyembahan) dan
mu'amalah (interaksi dengan sesama manusia).[30]
Keduanya terjalin secara erat dan saling berkaitan dalam banyak hal. Interaksi
dengan sesama dan keterkaitan atas keduanya yang dipengaruhi oleh perasaan,
pikiran dan kemauan yang dimiliki oleh manusia akan menghasilkan pengakuan
yaitu pengakuan atas keberadaan dan tanggung jawabnya sebagai abdullah dan
khalifah.
Sedangkan untuk
mengaktualisasikan tugas ganda sebagai abdullah dan khalifah maka Allah telah
melengkapi manusia dengan sejumlah potensi dalam dirinya. Potensi yang dapat
menjalankan tugas dan tanggung jawab adalah al-Nafs,[31]
al-'Aql,[32]
dan al-Qalb[33]. Dimensi
nafsu memiliki dua daya utama yaitu daya ghadab (marah) dan daya syahwat
(senang). Daya ghadab adalah daya untuk menghindari sesuatu yang membahayakan atau
hal yang tidak menyenangkan. Sedangkan daya syahwat adalah daya untuk merebut
dan mendorong kepada hal-hal yang memberikan kenikmatan.[34]
Sementara dimensi Aql
memiliki daya mengetahui dan memahami. Daya mengetahui itu muncul sebagai akibat
adaya daya fikir seperti memikirkan, memperhatikan, menginterpretasikan. Sedangkan
dimensi Qalb memiliki dua daya yaitu daya memahami dan daya merasakan. Daya
memahami pada Qalb (disamping menggunakan daya memahami dan merasakan) memiliki
daya persepsi Ruhaniah yang sifatnya menerima, yaitu memahami yang haqq dan
ilham /ilmu dari Tuhan. Dengan demikian, jiwa manusia mampu menangkap
pengetahuan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan Aql dan Qalb.[35]
Manusia bebas
menentukan tingkah lakunya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kemauannya, namun
pada saat yang bersamaan, manusia juga bertanggung jawab terhadap lingkungan
alam, manusia, dan Tuhannya. Tanggung jawabnya terhadap alam adalah untuk
melestarikannya, tanggung jawabnya terhadap sesama manusia adalah
mensejahterakannya, dan tanggung jawab terhadap Tuhan adalah untuk mencari Ridla-Nya.
Islam sebagai petunjuk
tentang ketundukan total kepada Allah dimaksudkan tidak hanya bagi orang-orang
tertentu, tetapi bagi seluruh umat manusia. Universalisme Islam ini berarti
bahwa semua manusia, baik sesama individu, sesama kelompok, maupun sesama bangsa
adalah sama dihadapan Allah. Seseorang atau kelompok tidak dinilai berdasarkan
keturunan atau kesempurnaan fisik seseorang tetapi berdasarkan keimanan,
kehidupan yang lebih baik, dan perhatiannya kepada kesejahteraan orang lain.[36]
Pendekatan Psikologi Dalam Studi Islam
Manusia adalah makhluk
Tuhan yang dalam perkembangan jasmaniah dan ruhaniahnya selalu memerlukan
bimbingan dan pengarahan melalui proses pendidikan. Membimbing dan mengarahkan
perkembangan jiwa dan pertumbuhan jasmani dalam pengertian bahwa pendidikan
tidak dapat dipisahkan dari psikologis.[37]
Psikologi Islami memandang
bahwa manusia selalu dalam proses berhubungan dengan alam, manusia, dan Tuhan.[38]
Hubungan manusia dengan alam sangat diperlukan untuk menghargai dan menghormati
terhadap ciptaannya sehingga manusia mampu menjaga lingkungan yang baik. Sedangkan
hubungan manusia dengan sesamanya yaitu menjaga dan melindungi harga dan
martabat sebagai manusia, karena manusia diciptakan sama, maka sikap dan
tindakan jangan sampai mengakibatkan perpecahan dan permusuhan. Sementara
manusia dengan Tuhan tiada lain untuk menciptakan hubungan penghambaan yang
baik, karena manusia diciptakan oleh Allah dengan penuh kasih sayang.
Dalam pandangan psikologis
humanistik, manusia mempunyai potensi untuk berbuat baik dari aspek kemauan[39],
kebebasan, perasaan, dan pikiran untuk mengungkap makna hidup dengan
berdasarkan nilai-nilai ketauhidan sehingga manusia mampu mengembangkan potensi
dan kualitas hidup yang Islami.[40]
Oleh karena itu, konsep tersebut mengintegrasikan hubungan piramida antara
nafs, akal, dan hati ke dalam konteks psikologis manusia dengan berdasarkan
pada ajaran-ajaran wahyu. Hubungan konsep psikologis humanistik tersebut, akan
melahirkan kreatifitas hidup sebagaimana yang telah dipesankan Tuhan dalam
al-Qur'an
yaitu semangat untuk berpikir, kemauan berbuat kebaikan dan menciptakan nilai-nilai
spritualitas yang tinggi demi kualitas hidup manusia secara universal.
Ketika
manusia menghadapi alam semesta yang mengagumkan dalam lubuk hatinya yang
terdalam, maka manusia telah dapat mengetahui adanya Dzat yang maha suci lagi
maha segalanya. Untuk mengetahui Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, orang
tidak perlu menunggu wahyu turun. Namun, dari pengalaman-pengalaman yang pernah
ia alami dan bahkan dapat dirasakan oleh siapa pun, merupakan salah satu cara
untuk mengenal Dzat tersebut. Pengalaman-pengalaman batin yang mendalam inilah
yang dinamakan ilmu al-hudury.[41]
Semua
pengalaman tersebut dapat dirasakan oleh semua manusia, apapun warna kulit dan
agamanya, tanpa mengatakan terlebih dahulu siapa dan dari mana asalnya.
Kebenaran epistemologi irfani dapat dirasakan secara langsung. Pemisah yang
berupa formalitas lahiriyah yang dibuat oleh lingkungan dan tradisi, dikesampingkan
oleh berfikir irfani dan menggantikannya dengan nalar epistemologi irfani.
Oleh
karena itu, ajaran tauhid yang merupakan ajaran yang paling mendasar dan penting
dari Islam[42] dapat dirasakan oleh siapapun. Dengan demikian, penegasan terhadap kenyataan diri yang sesungguhnya bahwa penguasa
segala sesuatu adalah satu, namun tidak semata berarti suatu bilangan. KeEsaan Allah
diluar bilangan, ini untuk menjelaskan atas keistimewaan-Nya. Ke Esaan Allah akan terwujud dalam dunia sekeliling
manusia, dalam keharmonisan, keteraturan, dan keindahan ciptaannya tanpa adanya sekat yeng memisahkan.[43] Dengan
demikian, yang terpenting dari segala dasar ini adalah pengakuan dan pengimanan
tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang terdapat dalam surah
Al-Ikhlas.
Ayat
diatas dipertegas dengan ayat lain yang menunjukkan bahwa Dialah pencipta segala
yang ada, yaitu terdapat pada QS. Al-An'am, 102.;
Artinya:
(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada
Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan Dia adalah
pemelihara segala sesuatu. (QS. Al-An'am: 102).[45]
Pengakuan
terhadap Tuhan Esa dapat dirasakan dan dipercayai oleh manusia ketika ia
menggunakan olah pikir hati dan dukungan olah pikir akal. Iman berarti keselamatan atau keamanan, dan ini melibatkan pengakuan dihati dan
perbuatan anggota badan, yang keduanya diperkuat oleh kemampuan olah pikir.
Beriman kepada Allah dalam hal ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa hal itu
memberikan kerangka dasar dimana moralitas harus dilaksanakan. Manusia dapat
memilih moralitas tanpa agama, namun kondisi ini akan membawa manusia kepada
bencana ideologi komunisme.
Dasar lain dari pengakuan
adalah mengakui atas kerasulan Muhammad, wahyu, dan kitab suci. Salah satu
ajaran dasar lain dalam Islam ialah bahwa manusia itu berasal dari Allah dan
akan kembali kepada-Nya. Islam berpendapat bahwa hidup manusia di dunia ini
tidak bisa terlepas dari hidup manusia di akhirat. Bahwa lebih dari itu, corak
hidup manusia di dunia ini menentukan corak hidupnya di akhirat kelak.[46]
Prinsip-prinsip ajaran tersebut harus dilakukan oleh umat Islam untuk
mengembangkan kesadaran spritual untuk meningkatkan kualitas dan potensi hidup
secara Islami.
Semangat konsep
psikologis humanistik mengisi dan mengembangkan bahkan mengkritik konsep-konsep
Barat yang cenderung mengedepankan konsep pemisahan agama dengan ilmu
pengetahuan. Simbol yang menyolok dari arogansi manusia ini adalah penyombongan
terhadap Titanic yang tenggelam ke dalam lautan Allah pada musim semi tahun
1912.[47]
Salah satu bukti kritikan terhadap Barat tentang perkembangan psikologis yaitu Sigmund
Freud dalam teori psikoalisis yang menyatakan bahwa, anatomi tubuh manusia ada
tiga kategori yaitu, Id, Ego, dan Super Ego yang tidak dapat dipisahkan.[48]
Menurutnya, yang lebih dominan dalam struktur psikis manusia bawah sadar adalah
Id dan memandang manusia sebagai makhluk yang sangat ditentukan oleh masa
lalunya.
Teori ini dipandang
sebagai teori yang menyederhanakan kompleksitas dorongan hidup yang ada dalam
diri manusia. Teori ini hanya menjelaskan adanya kebutuhan manusia yang paling
mendasar, yaitu kebutuhan fisiologis. Namun teori ini belum mampu menjelaskan
kebutuhan-kebutuhan luhur (mulia) dari diri manusia. Sejalan dengan itu, teori
ini juga belum mampu menjelaskan tentang kebutuhan manusia terhadap agama dan
adanya dorongan iman sebagai penggerak seseorang untuk bertingkah laku.[49]
Manusia tidak dibebaskan begitu saja tanpa adanya pergerakan hati mereka untuk
memilih. Setiap manusia dilahirkan sebagai muslim pada saat awal penciptaannya.
Manusia adalah
sekumpulan kontradiksi, yaitu diciptakan secara fitrah dalam keadaan beriman
tetapi mereka juga memiliki kecenderungan untuk mengikuti nafsu atau keinginan
jasmaninya. Keadaan ini justru merupakan kekuatan besar untuk melaksanakan
tugas sebagai hamba dan khalifah karena akan mudah menerima ajaran agama yaitu
Islam, suatu agama yang sesuai dengan fitrah kejadian manusia, agama yang
mengatur hubungan manusia dan Tuhan, manusia dengan sesamannya dan manusia
dengan alam lainnya.[50]
Kesimpulan
Potensi manusia yang
berupa pikiran, perasaan, dan kemauan yang diaktualkan kepada pengakuan tentang
ke Esaan Allah bukanlah sebagai argumentasi filosofis melaikan penegasan bahwa
manusia memang mengakuinya. Demikianlah mereka mengikuti seruan Allah. Tauhid
berarti pengetahuan bahwa Allah sebagai satu-satunya penguasa yang berkuasa
atas alam semesta. Pengetahuan ini bukanlah hasil dari kepercayaan tetapi ia
adalah dasar kepercayaan. Kesadaran akan tauhid adalah bagian dari pengetahuan
yang Allah ciptakan dalam diri setiap manusia pada sifat fitrahnya.
Islam adalah kepastian
mutlak atas ke Esaan Allah. Keimanan dan ke Esaan Allah menunjukkan persatuan makhluk, kemanusiaan dan umat Islam.
Ini adalah kerangka dimana agama dan moralitas harus ditetapkan. Iman dalam
analisa akhir merupakan suatu analisa sikap. Seorang dapat menjadi muslim dan
akan hidup dalam kedamaian ditengah masyarakat, tetapi jika seseorang tidak
memiliki keimanan ia adalah seorang munafik.
Daftar Pustaka
Abdul Rahman
Shaleh & Wahab, Muhib Abdul. Psikologi Suatu Pengantar, Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Prenada Media, Cet. II, 2005.
Abdullah,
M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam,
Pokok-pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sisitem Islam, Jakarta : Gema Insani,
2004.
Arifin, M. Ilmu
Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Ayoub, Mahmoud
M. Islam: Antara Keyakinan & Praktik Ritual, Refleksi Cendikiawan Muslim
Untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, terj. Nur Hidayat, Yogyakarta : AK. Group,
2004.
Baharuddin, Aktualisasi
Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2005.
______________, Paradigma Psikologi
Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. I, 2004.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, Bandung: Al-Jumanatul 'Ali-ART, 2007.
Fauzi, Ahmad. Psikologi
Umum, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Langgulung, Hasan. Asas-asas
Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru, 2003.
______________, Pendidikan dan
Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, Cet. III, 1985.
______________, Teori-teori
Kesehatan Mental, Jakarta : Pustaka al-Husna, 1992.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Islam dan
Pembinaan Kepribadian, Jakarta: Akademika Pressindo, Cet I, 1995.
Manzur, Ibn. Lisan al-Arab, Jilid VII, Mesir: Daar al-Mishriyyah,
1968.
Marimba, Ahmad D. Pengantar
Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al Ma.arif, Cet. VIII, 1989.
Muhaimin dan Mujib, Abdul. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian
Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Tri Genda
Karya, Cet. I, 1993.
Mutiah, Diana. Psikologi Bermain Anak Usia Dini, Jakarta:
Kencana, 2010.
Nashori, Fuad. Potensi-potensi
Manusia, Seri Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. II, 2005.
Nasution, Harun. Falsafah dan
Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IX, 1995.
______________, Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Pres, Jilid I, 1985.
Rahardjo, M.
Dawam. Ensiklopedi Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, Cet.I, 1996.
Shihab, M.
Quraish. Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, Cet. III, 1996.
Umary, Barmawie. Materi Akhlak, Solo: Ramadhani, Cet. I, 1989.
[1] QS. Al-Hijr, 15 : 29.
[2] Fuad Nashori, Potensi-potensi Manusia, Seri Psikologi Islam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2005), hlm. 111.
[3] Senada dengan al-Ghazali, Baharuddin membedakan aspek manusia
terdiri dari Jismiah, Nafsiah, dan Ruhaniah. Selengkapnya lihat, Baharuddin, Paradigma
Psikologi Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi Dari al-Qur'an (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. I, 2004), hlm. Xiii / 160.
[4] QS. Al-Dzariyaat, 51: 56.
[5] QS. Al-Baqarah, 2 : 30.
[6] Manusialah yang menentukan dan berkuasa atas dirinya sendiri dengan
dorongan aspek nafs, aql dan qalb. Baharuddin, Paradigma, hlm. Xiv.
[7] Abdul Rahman Shaleh & Muhib Abdul Wahab, Psikologi Suatu
Pengantar, Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Prenada Media, Cet. II, 2005),
hlm. 1.
[12] Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Mesir: Daar al-Mishriyyah, Jilid
VII, 1968), hlm. 306-314.
[15] M. Quraish Shihab, Wawasan, hlm. 65.
[16] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian
Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Tri Genda Karya,
Cet. I, 1993), hlm. 13-19.
[19] Ali Abdul Halim Mahmud, Islam dan Pembinaan Kepribadian
(Jakarta: Akademika Pressindo, Cet I, 1995), hlm. 51.
[20] Harun Nasution, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, Cet. IX, 1995), hlm. 17.
[21] Barmawie Umary, Materi, hlm. 16.
[22] Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran, hlm. 40-41.
[26] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam (Jakarta:
Pustaka Al Husna, Cet. III, 1985), hlm. 224.
[27] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
(Bandung: Al Ma.arif, Cet. VIII, 1989), hlm. 111.
[28] Baharuddin, Paradigma, hlm. 287.
[29] Bentuk yang paling sempurna tersebut dilengkapi lagi dengan Aql. Al-Aql
dapat bermakna kecerdasan, karena itulah manusia dapat mengikat dan menahan
hawa nafsunya. Dengan Aql tersebut, manusia mampu membedakan mana yang hak dan
mana yang batil. Baharuddin, Paradigma, hlm. 115.
[30] Mahmoud M. Ayoub, Islam: Antara Keyakinan & Praktik Ritual,
Refleksi Cendikiawan Muslim Untuk Kesadaran dan Kesatuan Umat, terj. Nur
Hidayat (Yogyakarta : AK. Group, 2004), hlm. 125.
[31] Kata nafs menunjukkan manusia sebagai makhluk hidup yang asalnya
satu, berkembang biak, bekerja dan merasa. Kata nafs juga kadang menunjukkan
watak dan inti manusia. Lihat, Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam
(Jakarta : Pustaka Al-Husna Baru, 2003), hlm. 265.
[32] Kata al-'Aql dalam al-Qur'an dengan berbagai bentuknya sebagai kata
kerja yang semuanya menunjukkan arti pemikiran pada manusia. Dimensi inilah
yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Ibid., hlm. 267.
[33] Arti al-Qalb kebanyakan berkisar pada arti perasaan dan intelektual
manusia. Oleh karena itu, ia sebagai dasar bagi fitrah yang sehat. Tetapi
al-Qalb tidak selalu merupakan wadah petunjuk dan iman tetapi kadang juga
menunjukkan kepada dosa dan maksiat seperti yang terdapat pada QS. Al-Hijr, 15
: 12, QS. Al-Baqarah, 2: 283. Ibid., hlm. 266.
[34] Baharuddin, Paradigma, hlm. 231.
[35] Ibid., hlm. 233-235.
[36] Manusia mempunyai potensi yang esensial yaitu berupa al-Nafs.
Potensi yang mewadahi potensi-potensi dari dimensi psikis berupa baik maupun
buruk. Ibid., hlm. 92.
[37] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm.
103.
[38] Menurut hemat penulis, istilah Psikologi Islami kurang tepat
dipakai karena akan mengaburkan keberadaan dan sumber ilmu karena ilmu adalah
satu dan dari sumber yang satu pula yaitu Tuhan, sehingga tidak ada yang Islami
atau non Islami. Baharuddin, Paradigma, hlm. 391.
[39] Kemauan yang ada dalam diri manusia merupakan kekuatan yang
senantiasa mendorong, mendesak dan menyusun aktifitas manusia. Hasan
Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental (Jakarta : Pustaka al-Husna,
1992), hlm. 202.
[40] Baharuddin, Paradigma, hlm. 306.
[41] M. Amin Abdullah, Islamic
Studies Di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 208.
[42] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya
(Jakarta: UI Pres, Jilid I, 1985), hlm. 30.
[43] Mahmoud M. Ayoub, Islam, hlm. 12-13.
[46] Harun Nasution, Islam, hlm. 31.
[47] Ini menunjukkan bahwa kemampuan manusia sangat terbatas dan dibalik
semuanya ada yang menggerakkan. Keberadaan al-'Aql (dengan didukung an-Nafs)
lebih mendominasi dibanding dengan al-Qalb yang terdapat dalam diri setiap
manusia. Umat Islam percaya bahwa Allah yang menjalankan sejarah manusia,
karena manusia adalah ciptaan Allah. Oleh sebab itu, yang diperlukan bukanlah
humanisme yang menentang manusia dan aktifitas-aktifitasnya tetapi iman kepada
Allah dimana nilai sosial, moral, dan sosial dapat diaktualisasikan. Mahmoud M.
Ayoub, Islam: Antara, hlm. 134.
[48] Sigmund Freud lahir di Austeria dari keluarga Yahudi sekitar abad
19 yang terkenal dengan zaman pendewaan terhadap sains. Hasan Langgulung,
Teori-teori, hlm. 313. Lihat juga, Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2005), hlm. 104. Baharuddin, Paradigma,
hlm. 288.
[49] Baharuddin, Aktualisasi, hlm. 124.
[50] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Pokok-pokok Pikiran
Tentang Paradigma dan Sisitem Islam (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 36.
No comments:
Post a Comment