Oleh : Ahmad
Mustaghfirin
Pendahuluan
Pendahuluan
Terlepas setuju atau tidak, tujuan
pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas manusia. Yakni, manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian baik, disiplin, bekerja keras, bertanggung jawab, mandiri,
cerdas, dan terampil serta sehat jasmani maupun rohani. Pendidikan, apapun visi
dan misinya, harus mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia seutuhnya, tak terkecuali lembaga pendidikan dengan ciri khas Islam yang
bernama madrasah.[1]
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi mengakibatkan proses penerimaan masyarakat terhadap
lulusan pendidikan makin ketat. Ditambah lagi, ilmu pengetahuan yang
berlandaskan iman dan taqwa secara otomatis menambah sikap masyarakat dalam
memilih lembaga pendidikan semakin selektif. Dengan demikian, tidak salah jika
madrasah harus berbenah diri -kalau mau menjadi sebuah pilihan- karena madrasah
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang bercirikan Islam.
Keberadaan madrasah
dengan berbagai macam tuntutan tidak serta merta berjalan mulus, namun banyak
menghadapi kendala. Disatu sisi, madrasah merupakan lembaga pendidikan yang
mempunyai jumlah siswa yang signifikan dari total populasi siswa ditingkat
dasar dan menengah. Dan disisi lain, jumlah yang besar tersebut, madrasah
ternyata kurang mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah. Akibat dari
perlakuan negatif inilah madrasah menghadapi kesulitan dan terisolasi dari arus
modernisasi. Sikap diskriminatif ini mengakibatkan pendidikan madrasah
terdorong menjadi milik masyarakat penggiran (pedesaan). Pendidikan madrasah
selama ini seakan-akan tersisih dari mainstream pendidikan nasional. Akibatnya,
madrasah sebagai pendatang baru dalam sistem pendidikan nasional cenderung
menghadapi berbagai kendala, baik dalam hal mutu pendidikan, manajemen, dan
kurikulum.[4]
Namun demikian, madrasah masih banyak menyimpan potensi dan nilai positif yang
dapat dikembangkan jika dilakukan pembaharuan disemua lini.
Keadaan ini bukan
lantas sebagai penghambat untuk menata diri dengan mengkonstruksi operasional
pendidikan secara progresif. Madrasah tidak punya pilihan lain kecuali
meningkatkan kualitas pendidikannya. Madrasah dituntut membenahi diri dengan
memperbaharui programnya dengan program yang lebih cerdas berdasarkan kebutuhan
kekinian, baik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berlandaskan iman dan taqwa, menciptakan lapangan kerja. Madrasah harus mampu
bersaing dengan lembaga lain, karena madrasah mempunyai banyak kelebihan.
Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari, dan untuk masyarakat. Pembaharuan
ini harus dilakukan kalau tidak mau ditinggalkan oleh masyarakat, pihak yang
merupakan penopang dan penjaga utama madrasah. Tuntutan tersebut merupakan
reaktualisasi dari potensi yang dimiliki madrasah yang kaya akan pengalaman,
khususnya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Hakikat Pendidikan
Islam
Pendidikan dalam konteks Islam lebih dikenal dengan istilah “at-tarbiyah,
at-ta’lim, at-ta’dib, dan ar-riyadloh. Setiap istilah mempunyai makna yang
berbeda-beda sesuai dengan teks dan konteks maknanya, walau kadang mempunyai
makna yang sama dalam hal-hal tertentu. Dari keempat term tersebut, para ahli
pendidikan berbeda-beda dalam memaknai term tersebut namun pada hakikatnya
adalah sama. Yakni, proses penyampaian sesuatu sampai batas kesempurnaan, transformasi
ilmu dan pemahaman, pemeliharaan anak didik, penanaman etika, bimbingan jiwa.
Sedangkan term al-riyadloh hanya khusus dipakai oleh imam al-ghazali dengan
istilah Riyadlatussibyan.[5]
Menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, sebagaimana yang dikutip oleh
Muhaimin, beliau mendefinisikan at-tarbiyah sebagai upaya mempersiapkan
individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah
air, kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematik dalam berfikir, tajam
perasaan, giat dalam berkreasi, toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam
mengungkapkan bahasa tulis dan bahasa lisan, dan terampil berkreatifitas.[6]
Dari beberapa pengertian at-tarbiyah, at-ta’lim, at-ta’dib, al-riyadlah,
para ahli pendidikan memformulasikan hakikat pendidikan Islam sebagai berikut; Menurut
Dr. Muhammad SA Ibrahimy, sebagaimana yang dikutip oleh Muhaimin, ia menyatakan
bahwa; pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan
seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam,
sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam.[7]
Sedangkan menurut Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumi Al-Syaibany, beliau
mendefinisikan pendidikan Islam dengan:
Perubahan yang
diingini yang diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk
mencapainya, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya,
atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar tentang individu itu
hidup, atau pada proses pendidikan sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu
aktifitas asasi dan sebagai proporsi di antara professi-professi asasi dalam
masyarakat.[8]
Definisi yang diberikan oleh Al-Syaibany bukan hanya sekedar terjadi pada
manusia secara pribadi, namun lebih luas cakupannya, yakni perubahan yang
diinginkan baik tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, atau
alam sekitarnya dengan proses pendidikan dan pengajaran.
Dari pengertian-pengertian mengenai pendidikan Islam diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut
persoalan ciri khas, tetapi lebih mendasar lagi yaitu tujuan yang diidamkan dan
diyakini sebagai yang paling ideal. Oleh karena itu, pendidik dalam membimbing
anak didiknya harus melihat kembali pada hakikat dan tujuan pendidikan Islam
sesuai dengan jenjang pendidikannya, yaitu tidak sekedar melaksanakan tanggung
jawab sebagai guru dengan menyampaikan materi pelajaran.[9] Hal
ini diharapkan agar keberadaan madrasah tidak sekedar menambah lembaga
pendidikan di Indonesia, dan juga tidak menjadi persoalan baru bagi pemerintah
terkait lulusannya, mengingat jumlah madrasah saat ini sangat signifikan.
Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan –madrasah- dalam menyiapkan anak
didik untuk menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks, dapat
menghasilkan lulusan yang akan menjadi pemimpin ummat, pemimpin masyarakat, dan
pemimpin bangsa yang ikut menentukan arah perkembangan bangsa ini. Sebaliknya,
kegagalan sebuah lembaga pendidikan –madrasah- dalam menyiapkan anak didik untuk
menghadapi tantangan masa depan akan menghasilkan lulusan-lulusan yang
frustrasi, tersisih, dan menjadi beban masyarakat.
Pendidikan Islam
di Madrasah
Menurut Muhaimin, kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam
dilatar belakangi oleh empat hal. Pertama, realisasi dari pembaharuan
pendidikan Islam. Kedua, penyempurnaan sistem pendidikan pesantren agar
memperoleh kesempatan yang sama dengan pendidikan sekolah umum. Ketiga, keinginan sebagian kalangan santri
terhadap model pendidikan Barat. Keempat, upaya menjembatani antara sistem pendidikan
tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.[10]
Pentingnya
madrasah sebagai lembaga pendidikan dasar dan menengah bagi masa depan ummat Islam
di Indonesia, kiranya tidak perlu diperdebatkan lagi. Madrasah, yang
sampai saat ini jumlahnya ribuan di seluruh Indonesia, masih tetap menjadi
tumpuan harapan sebagian besar ummat Islam yang menginginkan anak-anak mereka
‘berbahagia di dunia dan berbahagia di akhirat’. Artinya, menguasai ilmu dunia
dan ilmu akhirat sekaligus, sesuatu yang, menurut mereka, tidak atau belum
dapat diberikan oleh sekolah.
Namun, realitas
pendidikan di madrasah saat ini bisa dibilang telah mengalami masa intellectual
deadlock. Diantara indikasinya adalah; pertama, minimnya upaya pembaharuan,
dan kalau toh ada kalah cepat dengan perubahan sosial, politik dan
kemajuan iptek. Kedua, praktek pendidikan Islam sejauh ini masih memelihara
warisan yang lama dan tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan
kritis terhadap isu-isu aktual. Ketiga, model pembelajaran pendidikan Islam
terlalu menekankan pada pendekatan intelektualisme-verbalistik dan menegaskan
pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru-murid.
Keempat, orientasi pendidikan Islam menitikberatkan pada pembentukan abd atau
hamba Allah dan tidak seimbang dengan pencapaian karakter manusia muslim
sebagai khalifah fi al-ardl.[11]
Madrasah merupakan
bagian dari tradisi pendidikan yang hidup di Indonesia. Ternyata madrasah
menyimpan kelemahan di dalam kreativitasnya selama ini, mulai dari orientasi
madrasah yang begitu sempit pada proses pencagaran untuk mempertahankan
paham-paham keagamaan tertentu, ditambah lagi kurikulum madrasah yang
pelaksanaannya serba setengah-setengah dan kebijakan di bidang kurikulum kurang
dibarengi dengan kebijakan di bidang perangkat-perangkat pendukungnya, sehingga
terdapat kesenjangan antara idealitas kurikulum dengan kemampuan perangkat
operasionalnya.
Selanjutnya metode
pengajaran di madrasah cenderung lebih banyak digarap dari sisi didaktik
metodiknya sehingga tenggelam dalam persoalan teknis-mekanis, sementara
persoalan yang lebih mendasar yang berhubungan dengan aspek “pedagogisnya”
kurang banyak disentuh. Dan konsep manajemen madrasah dijalankan secara
tradisional kurang mengarah kearah professional, penerapan prinsip-prinsip
manajemen modern tampaknya masih merupakan barang mewah, kecuali beberapa
madrasah yang mendapatkan gelar “Madrasah Unggulan”. Oleh karena itu, komponen
dasar pendidikan, yakni guru, filsafat dan metodologi pendidikan, dan perangkat
keras, harus serempak diperbaharui dan dikembangkan. Sistem pendidikan guru –didaktis
metodis- pun harus dibenahi.[12]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam
tidak dapat dilaksanakan secara "asal" tanpa adanya perencanaan yang
mengacu pada hakikat pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental.[13]
Pembaharuan pendidikan
Islam di Madrasah
Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan ini, semakin menjadikan madrasah sebagai
lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang
pesat, dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya,
keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang. Untuk mewujudkan
harapan semua pihak, madrasah harus melakukan perubahan disemua lini, baik
mengenai peningkatan mutu pendidikan yang mencakup kurikulum, materi, metode, sarana
pendidikan, dan evaluasi.[14]
Peningkatan kualitas SDM yang mencakup kepala, komite, guru, dan pihak-pihak
yang terkait dengan madrasah.
Kurikulum tidaklah merupakan hal yang pasti (statis), artinya keberadaan
kurikulum harus berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan
lingkungan. agar nantinya
menghasilkan lulusan yang cerdas dan bermoral. Kurikulum madrasah harus disesuaikan dengan lingkungan, perkembangan
zaman, dan kemajuan teknologi karena masyarakat pada umumnya selalu berubah
sesuai dengan perubahan zaman.[15]
Untuk itu, diperlukan sebuah kurikulum yang mampu menciptakan aspek lingkungan
hidup, pegangan hidup, kebutuhan hidup, dan dinamika kehidupan. Kurikulum yang
dimaksud, menurut Ainurrafiq Dawam dengan kurikulum terintegrasi.[16] Untuk
tujuan itu, diperlukan pergeseran paradigma dan karakteristik keilmuan dalam
penerapan kurikulum pendidikan madrasah.
Materi pelajaran di setiap jenjang
pendidikan madrasah -MI, Mts, MA- hendaknya berkelanjutan. Ini diharapkan agar
nantinya materi pelajaran tidak hanya mengulang-ulang. Menurut A. Malik Fajar,
MI sebagai pendidikan tingkat dasar mempunyai peran penting dalam proses
pembentukan kepribadian peserta didik, baik bersifat internal, eksternal, dan
suprainternal.[17] Oleh karena itu, lembaga
pendidikan dasar (MI) sangat membutuhkan perhatian lebih, baik sistem, materi,
manajemen, maupun mutu, agar nantinya
kesalahan yang dilimpahkan kepada madrasaah ibtidaiyah tidak terulang lagi.
Menurut Dr. Husni Rahim, ia menyatakan
bahwa madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bercirikan Islam tidak hanya
ciri formal dalam kurikulum saja. Namun, setidaknya ada tiga program utama yang
perlu ditetapkan. Pertama, program Mafikibb dengan nuansa Islam. Kedua, program
pelajaran agama dengan nuansa iptek, dan ketiga, penciptaan suasana keagamaan
di madrasah.[18] Program mafikibb dengan
nuansa Islam dimaksudkan untuk menopang reintegrasi antara ilmu-ilmu umum
dengan ilmu agama, agar tidak ada lagi dikotomi ilmu. Sedangkan program
pelajaran agama dengan iptek merupakan kelanjutan dari mafikibb dengan nuansa
Islam.
Sebenarnya, pendidikan di madrasah
sendiri sudah mengalami perubahan besar-besaran. Tetapi, karena perubahan
masyarakat lebih cepat, maka dunia pendidikan bagaikan jalan ditempat.
Perbaikan kurikulum, peningkatan mutu guru dan pembinaannya, sebenarnya bisa
dibilang dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Akan tetapi,
usaha yang baik itu kurang dibarengi dengan kesungguhan untuk memperbaiki
perangkat pendukungnya seperti guru, sarana prasarana, serta kebijakan
administratif. Komponen-komponen yang diperlukan tidak dapat berjalan
bersamaan, sehingga terjadi kepincangan dan kegagalan dalam perbaikan.
Oleh karena
itu, madrasah harus mendesain ulang model pendidikan Islam yang berkualitas dan
bermutu. Menurut Hujair AH. Sanaky, setidaknya ada lima hal yang harus didesain,[19]
yaitu: pertama, dengan merumuskan visi dan misi serta tujuan yang jelas. Kedua,
kurikulum dan materi pembelajaran diorientasikan pada kebutuhan peserta didik
dan kebutuhan masyarakat untuk dapat menjawab tantangan perubahan. Ketiga,
metode pembelajaran diorientasikan pada upaya pemecahan kasus (promlem solving)
dan bukan dominasi ceramah. Keempat, manajemen pendidikan diorientasi pada
manajemen berbasis sekolah. Kelima, organisasi dan sumber daya guru yang
memiliki kompetensi dan profesional dalam bidangnya masing-masing. Maka
pendidikan Islam akan mampu bersaing dengan mampu mempersiapkan dan melahirkan pemimpin-pemimpin
yang tangguh, berkualitas dan berkaliber dunia dalam bidangnya sehingga mampu
menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan kebutuhan
perubahan zaman.
Kesimpulan
Dengan berkembangnya zaman, Islam yang didalamnya terdapat
sisi pendidikan dituntut untuk menyesuaikan zaman bahkan menciptakan zaman.
Kecenderungan Pendidikan Islam hanya mempelajari agama saja membuat orang tidak
peka terhadap lingkungan baik itu social, budaya dan teknologi. Dengan
berpadunya agama dan ilmu pengetahuan akan menciptakan manusia yang kompeten
dalam dunia dan akhirat.
Sesuai dengan jiwa
desentralisasi yang menyerap aspirasi dan partisipasai masyarakat dalam
pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan, masyarakat dituntut untuk
memiliki kepedulian yang tinggi memperhatikan lembaga pendidikan yang berada di
lingkungan setempat. Hal ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi
dengan memberikan kontribusi baik dalam bidang material, kontrol manajemen,
pembinaan, serta bentuk partisipasi lain dalam rangka meningkatkan eksistensi
madrasah yang selanjutnya menjadi kebanggaan lingkungan setempat.
Akhirnya madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam yang hidup dari, oleh dan untuk masyarakat belum
mendapatkan sentuhan pikiran dan tangan kita semua. Peningkatan mutu tidak akan
terealisir tanpa andil semua pihak. Untuk itu, demi peningkatan mutunya maka
madrasah perlu dibantu, dibela dan diperjuangkan.
Begitu juga pihak-pihak yang terkait harus bekerja sama dalam menjalankan
roda pendidikan agar berjalan beriringan sesuai dengan tujuan pendidikan, tidak
sepihak, dengan tidak terjadi kepincangan dalam mengembangkan madrasah. Tidak
terkecuali mengontrol para pendidik karena mereka merupakan pihak yang secara
langsung berinteraksi dengan anak didik. Dengan demikian, harapan untuk
membantu pemerintah dalam mengentaskan kebodohan dan kemiskinan dapat terwujud.
Pendidikan Islam khususnya di madrasah akan berhasil sesuai dengan harapan
semua pihak dan berkembang sejajar dengan pendidikan pada umumnya, bahkan lembaga
pendidikan madrasah mampu menelorkan siswa yang berkualitas yang nantinya
sebagai ujung tombak dalam kemajuan bangsa.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Moeslim. Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995.
Al-Syaibany, Omar Mohammad
Al-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan
Langgulung, Jakarta
: Bulan Bintang, 1979.
Arif, Mahmud. Panorama Pendidikan Islam di Indonesia; Sejarah,
Pemikiran, dan Kelembagaan, Yogyakarta: Idea Press, 2009.
Assegaf, Abd. Rachman. Membangun Format Pendidikan Islam di Era
Globalisasi., dalam Imam Machali dan Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan
Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004.
Azra, Azyumardi. Esei-Esei Intelektual Muslim Dan
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Dawam, Ainurrafiq
& Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, tt, Lista
Fariska Putra, 2005.
Fajar,A. Malik. Madrasah dan Tantangan Modernitas,
Bandung: Mizan, 1998.
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Muhaimin & Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian
Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Trigenda Karya,
1993.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam,
Pendekatan Hisyoris, Teoritis dan Praktis, Jakarta : Ciputat Pres,
2002.
Nurgiyantoro, Burhan. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah,
Sebuah Pengantar Teoritis Dan Pelaksanaan, Yogyakarta: BPFE, 1988.
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001.
Sanaky, Hujair AH. Pendidikan Islam Alternatif Upaya
Mengembangkan Madrasah (ebook). http://www.pdf-finder.com/PENDIDIKAN-ISLAM-ALTERNATIF-UPAYA-MENGEMBANGKAN-MADRASAH.html.
Sutrisno, Pendidikan Islam Yang Menghidupkan, Studi Kritis Terhadap
Pemikiran Fazlur Rahman, Yogyakarta: Kota Kembang, 2006.
Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta :
Rineka Cipta, 2000.
[1] Beberapa ahli pendidikan
berpendapat bahwa madrasah sudah berdiri pada abad V H yaitu madrasah Nizamiyah
di Baghdad yang dibangun oleh perdana menteri Nizam al-mulk. Sebagian lain
berpendapat bahwa, madrasah sudah ada sebelum madrasah Nizamiyah yaitu madrasah
Ibnu Hibban di Nisabur (354 H), Madrasah Abi Hafsh di Bukhara (361 H), dan
al-Shabuni di Nisabur (405 H). Selengkapnya lihat Mahmud Arif, Panorama
Pendidikan Islam di Indonesia; Sejarah, Pemikiran, dan Kelembagaan
(Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm. 28.
[2] Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual
Muslim Dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 3.
[3] Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 477.
[4] H.A.R. Tilaar, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hlm. 164.
[5] Selengkapnya, lihat Muhaimin
& Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 130-134.
[6] Ibid., hlm.
131-132.
[7] Ibid., hlm. 134-135.
[8] Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam,
terj. Hasan Langgulung (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 399.
[9] Para pendidik harus
memahami bahwa pendidikan/ pengajaran dengan model hafalan dan ingatan
merupakan sekedar cara atau jalan menuju pemahaman dan bukan sebagai tujuan
dari pendidikan. Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hlm. 577.
[10] Muhaimin & Abdul
Mujib, Pemikiran., hlm. 305. Menurut maksum, ada dua situasi yang melatar
belakangi pertumbuhan madrasah di Indonesia, yaitu adanya gerakan pembaharuan
Islam dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia
Belanda. Lihat, Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 82.
[11] Abd. Rachman Assegaf,
.Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi., dalam Imam Machali dan
Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2004), Cet. I, hlm. 8-9.
[12] Moeslim Abdurrahman, Islam
Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 242-244.
[13] Hakikat pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental
merupakan pedoman dalam pembentukan manusia sempurna (al-insan al-kamil). Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Hisyoris, Teoritis dan Praktis
(Jakarta : Ciputat Pres, 2002), hlm. 57.
[14] Sutrisno, Pendidikan Islam
Yang Menghidupkan, Studi Kritis Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman
(Yogyakarta: Kota Kembang, 2006), hlm. 31.
[15] Agar perubahan kurikulum
tidak merusak tatanan yang ada dan dapat berjalan sesuai harapan, maka
pengembangan kurikulum hendaknya melalui beberapa tahapan. Pertama,
pengembangan program tingkat lembaga yang meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu
perumusan tujuan institusional, penetapan isi dan struktur program, penyusunan
strategi pelaksanaan kurikulum secara menyeluruh. Kedua, pengembangan
program setiap mata pelajaran. Ketiga, pengembangan program pengajaran
dikelas. Selengkapnya; lihat, Burhan Nurgiyantoro, Dasar-Dasar Pengembangan
Kurikulum Sekolah, Sebuah Pengantar Teoritis Dan Pelaksanaan (Yogyakarta:
BPFE, 1988), hlm. 171.
[16] Ainurrafiq Dawam & Ahmad Ta’arifin, Manajemen
Madrasah Berbasis Pesantren (tt, Lista Fariska Putra, 2005), hlm. 59.
[17] Internal; bagaimana mempersepsi didirnya, eksternal;
bagaimana mempersepsi lingkungannya, suprainternal; bagaimana mempersepsi dan
menyikapi Tuhannya dengan ciptaannya. A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan
Modernitas (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 34.
[18] Mafikibb adalah bidang
studi umum. Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 140.
[19] Hujair AH. Sanaky, Pendidikan Islam Alternatif Upaya
Mengembangkan Madrasah (ebook). http://www.pdf-finder.com/PENDIDIKAN-ISLAM-ALTERNATIF-UPAYA-MENGEMBANGKAN-MADRASAH.html.
No comments:
Post a Comment