Thursday, December 29, 2011

"MEMBURU JEJAK" Dibalik Tekstualitas Hadits

 Oleh : Ahmad Mustaghfirin

Pendahuluan
Kehadiran Hadits di tengah umat Islam tidak terlepas dari sejarah. Perpaduan antara sejarah telah melahirkan Hadits. Korelasi antara keduanya tak bisa diabaikan begitu saja, tanpa melibatkan atau menyisihkan salah satunya hanya akan membuat teks terapung dari konteksnya. Namun demikian, titik tekan sabda Nabi ini bukan hanya berakhir setelah memahami sejarah itu semata, melainkan usaha untuk terjun langsung meneliti keberadaan teks Hadits juga tak kalah pentingnya.
Sampai saat ini, keberadaan teks Hadits masih mendominasi percaturan pemikiran ulama. Tak terkecuali pada dekade terakhir ini. Bahkan tentang "teks" itu sendiri menurut pandangan Nasr Hamid Abu Zaid menjadi barometer kecerdasan seseorang.[1] Bertolak dari ini, maka kajian tentang teks Hadits menjadi sangat penting. Bahwa tidak sedikit sandaran pemikiran hanya disokong oleh potongan-potongan teks tanpa ada usaha untuk mendalaminya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-qur'an. Secara teoritis, tentunya ini lebih mudah dari pada mempelajari al-qur'an karena Hadits merupakan penjelas makna dan isi yang terkandung dalam al-qur'an. Namun pada kenyataannya tidak kalah sulitnya seperti mempelajari Al-Qur'an. Ini disebabkan Hadits tersebar dibeberapa koleksi dengan kualitas yang beragam, tidak semuanya Hadits pada kualitas yang sama (shahih, hasan, dha'if).
Selanjutnya, penulis disini tidak bermaksud untuk menjelaskan tentang kualitas hadits, namun hanya sekedar mencoba untuk melihat beberapa aspek dan maksud dari tek Hadits yang berbicara tentang pendidikan (mendidik anak) dan menguraikannya kedalam konteks kekinian.[2]
Teks Hadits
Hadits didefinisikan oleh para ulama' pada umumnya sebagai "segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Muhammad SAW., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya. Namun ulama ushul fiqh membatasi pengertian hadits hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad yang berkaitan dengan hukum.
Namun problem menyangkut pemaknaannya sebuah teks hadits dalam masih dapt muncul. Apakah pemahaman makna hadits harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks tersebut berkaiatan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup mitra bicara dan kondisi social ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadits. Kaitan dengan pemaknaan hadits ini, para ulama berbeda pendapat. Diantaranya adalah Al-Qarafi, as-Syatibi, Imam Syafi'ai.[3]
Pembahasan Dari Segi Makna Hadits
Hadits ini menunjukkkan bahwa masih banyak orang yang belum paham dan mengerti terhadap keberadaan diri dan anaknya. Penelantaran terhadap anak sering terjadi. Tak terkecuali pada zaman sekarang ini. Dari latar belakang itulah Hadits ini hadir untuk memberikan makna dan tanggung jawab penuh dari orang tua terhadap anaknya. Dengan demikian Hadits diatas perlu diangkat ke permukaan untuk menguak sisi pendidikan yang terkandung di dalamnya dan sebagai bukti peran Nabi dalam mendidik anak (sebagai penerus bangsa).
Makna "Haq Al-walad 'ala al waalid"
Definisi Hak al-walad 'ala al-waalid adalah sesuatu yang harus diberikan orang tua terhadap anaknya. Menurut hemat penulis, secara tekstual ada tiga aspek yang dapat diambil dari hadits Nabi mengenai kewajiban orang tua dalam mendidik anak yaitu al-kitabah (menulis), al-Sibahah ( berenang) dan al-Rimayah (memanah).
Makna "Al-Kitabah"
Al-Kitaabah adalah bentuk masdar dari fi'il madli kataba- yaktubu yang artinya "menulis".[4] Bahwa Islam bukan hanya agama yang bangga dengan banyaknya umat Islam melainkan bagaimana membuat anak didik sanggup mengarungi kehidupannya kelak dengan kemampuan diri yang berkualitas. Hak anak terhadap orang tua ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Tapi merupakan suatu keharusan yang tak bisa diabaikan.
Salah satu yang tertuang dalam Hadits ini adalah berupa pendidikan (tulis menulis). Dari Hadits tersebut, Nabi Muhammad menganjurkan untuk memberikan sesuatu kepada anaknya yang pertama kali berupa ilmu pengetahuan bukan berupa harta benda ataupun mengajari dengan bekerja. Sekalipun harta yang diberikan tapi bagaimana bisa membawanya menjadi takwa kepada Allah SWT. Hal ini perlu diungkap disini mengingat sampai detik ini pendidikan moral tak jua menemukan konsep yang jelas dan hanya mengarah kepada bagaimana peserta didik dipersiapkan.untuk mudah mendapatkan suatu pekerjaan semata tanpa menekankan pada akhlak atau moral.
Pada hakikatnya, manusia dilahirkan "kedunia fana" dalam keadaan fitrah, tidak bisa membaca dan menulis. Maka orang tuanyalah yang berkewajiban untuk mendidik dan mengajarinya. Pemberian pendengaran, penglihatan dan jiwa perasa secara cuma-cuma dari Allah bukan untuk disia-siakan tetapi hal ini agar diisi untuk menemukan hakikat Tuhan sehingga manusia bisa bersyukur.
Yang tidak bisa diragukan lagi adalah bahwa sebenarnya tradisi tulis menulis sudah tersebar pada masa Nabi Muhammad SAW. Dalam skup yang lebih luas dibanding pada masa pra-Islam. Sebab Al-Qur'an telah memerintahkan belajar dan Nabi Muhammad sendiri juga menganjurkan hal itu. Karakter risalah membawa konsekuensi maraknya para pelajar, pembaca dan penulis. Karena wahyu memerlukan ahli tulis (penulis), surat menyurat, perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan yang menyangkut kenegaraan juga memerlukan ahli tulis.
Belajar tulis menulis tidak hanya berlaku bagi kaum laki-laki saja namun juga diperuntukkan bagi kaum wanita. Belajar tulis menulis juga diceritakan pada pengaruh dari perang badar bagi pengajaran anak-anak Madinah, yaitu ketika Rasul SAW mengijinkan tawanan-tawanan perang untuk ditebus, masing-masing tawanan diantara mereka yang bisa menulis, dengan mengajar tulis baca kepada sepuluh anak muslim Madinah.[5]
Berbicara tentang menulis tentu tidak bisa lepas dari kegiatan membaca karena dua hal ini tidak bisa dipisahkan dan selalu berkaitan. Selain Hadits Nabi diatas, Al-Qur'an telah memerintahkan untuk belajar tulis menulis seperti yang ada pada surah al-alaq.
Artinya: "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Q.S. Al-Alaaq) [96] ayat :1-5.[6]

Imam Qatadah mentafsirkan bahwa al-qalam (pena) adalah nikmat Allah yang besar.[7] Penulis mendefinisikan arti menulis di sini dengan arti membaca dan memahami situasi, kondisi dan perkembangan zaman disaat anak tersebut dilahirkan –bukan disaat orang tuanya dilahirkan– sehingga bagaimana orang tua mengajari dan mempersiapkan buah hatinya untuk bisa membaca keadaan tersebut agar dapat melaksanakan amanah sebagai "khalifah" dimuka bumi ini dengan benar. Menurut Quraisy Syihab mengenai khalifah ini, beliau menentukan tiga unsur dalam arti ke-khalifah-an yaitu; Manusia, alam raya dan hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya. [8]
Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam agama Islam. Sebagaimana firman Allah yang telah memerintahkan kepada ummat-Nya untuk selalu menjaga diri dan keluarganya dari siksa api neraka. Seperti yang telah dijelaskan Allah dalam surah at-Tahrim [66] ayat 6 :
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim:[66] 6)[9]

Dan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah bersabda yang artinya:
“Setiap diantara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban”.(HR. Bukhari-Muslim).
Di dalam Al-Quran kita juga mendapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula dalam Hadits-Hadits Rasulullah kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik dari perintah maupun perbuatan, beliau mendidik anak secara langsung.
Makna "Al-Sibaahah"
Makna kata as-Sibaahah sama dengan kata as-Sibhu yaitu berenang.[10] Setelah mengajari untuk menulis (membaca, mengumpulkan/ al-dhommu) serta memotret keadaan dan perkembangan zaman dimana anak tersebut tumbuh dewasa nanti, Nabi Muhammad juga menganjurkan kepada orang tua agar mengajari anaknya untuk berenang
Menurut penulis, ada dua hal yang bisa dipahami dari kata as-sibaahah. Pertama, penjelajahan lautan. Bahwa hidup bukan hanya di darat semata, itu adalah hal yang pasti. Karena itu, pemahaman tentang kelautan sekaligus kaitannya dengan ilmu pengetahuan tidaklah sedikit. Bahari sebagai dunia (unsur bumi) lain dari daratan ini memiliki banyak fungsi yang harus dikuak lewat pendidikan. Lahirnya ilmu kelautan bisa dijadikan contoh tentang pentingnya laut.
Dengan kata lain, pendidikan bukan hanya berlangsung di satu tempat (daratan) saja melainkan harus mampu menyebrangi samudra yang luas. Inilah mengapa dalam Hadits lain Nabi menganjurkan agar mencari ilmu ke negri China.[11] Suatu Negara yang dipisah oleh jarak laut yang sangat luas. Karena itu, memaknai "berenang" bukan hanya mengajar terapung di air tapi bagaimana seorang anak mempunyai keinginan untuk menyebrangi lautan sehingga menemukan kekuasaan Allah yang tak terhingga ini.
Kedua, kemampuan mengambil hikmah. Dalam banyak literatur tasawuf disebutkan syari'at adalah perahu. Maka menyelam menemukan hakekat (ma'rifat) merupakan kelanjutan jalan menuju Allah (thariqah dan bahkan hakikat). Jalan-jalan ini bisa ditemukan dengan kecerdasan mencari hikmah di balik dunia ini. Kontemplasi atau 'uzlah dari kehidupan duniawi untuk mencari kesempurnaan hidup akhirati kemudian menjadi sangat penting.
Dalam Hadits yang lain dijelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu yaitu Hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi telah bersabda : "
Artinya:  "….. Barang siapa yang menempuh perjalanan guna mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya perjalanan menuju surga………"(HR. Muslim).[12]
Hemat penulis, makna "Surga" disini dapat diartikan dengan bermacam-macam makna, yaitu dapat diartikan sebagai kebahagiaan, ketenangan (al-sakinah), ketentraman dan rahmah baik didunia maupun diakhirat nanti.
Dengan berlandas tumpu pada pemahaman ini, maka anak didik harus diarahkan pada pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Sehingga ilmu yang didapat bukan menggantung di atas teori-teori tapi juga mendarat dalam dunia praktek prilaku sehari-hari.
Makna "Al-Rimaayah"
Ar-Rimaayah merupakan bentuk masdar dari kata ramay yang artinya melemparkan[13] (memanah). Sedangkan antara Berenang dan memanah merupakan suatu tempat yang berlawanan. Berenang merupakan suatu tempat yang identik dengan lautan, sedangkan memanah merupakan tempat yang berada didaratan. Namun dua tempat tersebut tidak bisa dipisahkan mengingat unsur tempat yang kita diami ini mengandung unsur daratan dan lautan.
Disamping perintah Nabi Muhammad untuk memberikan pelajaran tentang "berenang", dalam Hadits itu juga dianjurkan untuk memberikan keterampilan memanah (al rimayah). Secara substantif kata ini juga tidak bisa hanya berhenti pada memanah an sich tapi bisa meluas pada ranah cita-cita masa depan ataupun ketrampilan. Untuk menumbuhkan minat belajar, anak harus diberikan gambaran tentang kehidupan masa depan.
Diakui atau tidak, cita-cita akan memotivasi anak untuk terus mengejar apa yang akan dicapai. Tujuan hidup yang layak baik di dunia maupun di akhirat harus mampu dibidik oleh anak sejak dini. Sehingga arah dan orientasi hidupnya mulai terbayang. Pendidikan semacam ini begitu sangat penting mengingat sampai saat ini pendidikan hanya berupa pengulangan bahasa dan kata bukan menumbuhkan ide. Berani untuk bercita-cita merupakan petunjuk awal bagi cerahnya masa depan anak.
Hal inilah yang perlu dikembang suburkan dalam diri anak. Maka membiarkan anak hanyut dalam retorika dan transfer ide merupakan penindasan terselubung atas nama pendidikan. Sebaliknya, membiarkan anak didik melesat bagai anak panah menuju masa depan yang dicita-citakannya harus terus dikembangkan. Atau dengan kata lain, tidak boleh ada pembelengguan potensi dari orang tua lebih-lebih dari guru terhadap anak.
Karena dalam Hadits lain Nabi bersabda bahwa anak diciptakan pada suatu zaman yang sangat mungkin berbeda jauh dengan zaman yang ditemui oleh orang tuanya.[14] Ia akan terus berjalan seiring dengan berputarnya waktu dan perjalanan zaman melewati berbagai tikungan dan rintangan yang berbeda pula.
Hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan hubungan antara Penakhluk dan yang ditakhlukkan, atau antara tuan dan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua itu harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya.
Al-Qur'an al-Karim, dalam mengarahkan pendidikannya kepada manusia dengan memandang, menghadapi dan memperlakukan makhluk tersebut sejalan dengan unsur penciptaannya : jasmani, akal dan jiwa. Atau, dengan kata lain, "mengarahkannya menjadi manusia seutuhnya[15] serta untuk mencapai rasa aman, ada sekian banyak sikap yang dituntut oleh agama dari pemeluknya. Menurut Prof. Mubyarto -seperti yang dikutip oleh Qurash shihab- ada lima hal pokok untuk mencapai hal tersebut :
1.      Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi,
2.      Manusia terjamin dalam mencari nafkah,
3.      Manusia bebas untuk memilih bagaimana untuk mewujudkan hidupnya sesuai dengan cita-citanya.
4.      Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya.
5.      Partisipasi dalam kehidupan social politik, sehinga seseorang tidak semata-mata menjadi obyek penetu orang lain.[16]
Ketika manusia telah memahami kewajiban dan tanggung jawab sebagai khalifah dimuka bumi, diharapkan akan memperlakukan dengan baik tempat dimana ia berpijak. Artinya tidak akan berbuat kerusakan, karena kerusakan di lautan maupun didaratan adalah semata-mata perbuatan manusia yang kurang mengetahui akan manfmaat dan madharatnya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam surat ar-Rum[30] Ayat 41;
Artinya: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."(Q.S. ar-Ruum[30]. 41)[17]
Untuk itu -tidak bisa tidak-, orang tua harus tahu apa saja yang harus diajarkan kepada anak-anaknya serta bagaimana metode yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini. Seorang pendidik, baik orang tua maupun guru hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah terhadap pendidikan putra-putrinya. Semakin baik interaksi manusia dengan manusia, dan interaksi manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam, pasti semakin banyak yang dapat dimanfaatkan dari alam raya ini. Bukti bahwa Allah akan merestui terungkap antara lain pada surah Al-Jin[72] ayat 16.
Artinya: "Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak)" (Q.S. Al-Jin[72]. 16).[18]

Kesimpulan
Dari uraian mengenai tektualitas Hadits yang menjadi topik makalah ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pendidikan yang diajarkan Nabi bertujuan agar orang tua mengarahkan anak-anaknya mampu menguasai segala bidang ilmu (bukan hanya satu bidang disiplin ilmu) agar kelak menjadi khalifah yang arif dan bijaksana selama ia benar-benar menyadari arti kekhalifahannya.
Dari uraian mengenai tektualitas Hadits yang menjadi topik makalah ini jelaslah apa yang ingin dicapai, yakni terbentuknya manusia yang tinggi takwanya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas dan terampil, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian serta memiliki semangat kebangsaan. Semuanya bertujuan untuk menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama bertangung jawab atas pembangunan bangsa dan Negara.
Dengan memahami aspek dan fungsi Hadits sebagai penjelas atas wahyu Tuhan berikut realitas yang mengitarinya kita dapat menemukan nilai-nilai pendidikan dalam kandungan Hadits secara bertahap sehingga akan mempermudah kita untuk menggali makna Hadits yang terkandung di dalamnya. Selain itu, pemecahan masalah social yang dihadapi masyarakat akan segera tertangani dengan kemampuan kita memahami Hadits di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, kehadiran Hadits diharapkan berperan aktif dalam pembentukan budaya muslim dan moral manusia untuk menjadi masyarakat terdidik dan memahami posisi dan statusnya di muka bumi sesuai dengan kehendak dan perintah Allah. Ketimpangan sosial dan ketidak adilan harus segera dienyahkan dan diganti dengan tatanan sosial yang damai berhaluan ridha Allah.
Sebagai akhiran dari makalah ini, penulis hanya bisa mengatakan bahwa " Kebenaran makalah ini adalah relatif karena kebenaran yang hakiki hanyalah milik Allah SWT".

"Wallahu A’lam"

DAFTAR PUSTAKA

Al-Khathib, Muhammad 'Ajaj, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (terj) H.M. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, Jakarta : Media Pratama, 2007.
Askolani, Hafid Ibn Hajar, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Terj) M Mahfudi al-Adib, Semarang : Toha Putra. Tt.
Baharits, Adnan Hasan Shalih, Mendidik Anak Laki-laki, Jakarta : Gema Insani, 2007.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya. Bandung: Al-Jumanatul 'Ali -ART, 2007.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif, 2002.
Muslim, Imam abi Husain, Ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi, Muhtashor Shahih Muslim (Bairut : al-Maktabatul Islami, 1987).
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur'an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan. 1994.
Zaid, Nasr Hamid Abu, Teks Otoritas Kebenaran, Yogyakarta : LKiS, 2003.


[1]  Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, (Yogyakarta : LKiS, 2003). Hlm. 179
[2] Didalam budaya dimana teks keagamaan senantiasa menjadi proses edar, upaya mengungkap konsep teks juga berarti mengungkap mekanisme yang melahirkan pengetahuan,, karena teks keagamaan menjadi teks yang melahirkan seluruh atau sebagian tipe-tipe teks yang dikandung oleh memori atau budaya tersebut.  Ibid, hlm. 179-180.
[3] Selengkapnya lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an : Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Bandung : Mizan. 1994), hlm 124-125.
[4] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya : Pustaka Progresif, 2002), hlm. 1187.
[5] Dari sejarah ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pembebasan terhadap kebodohan (pendidikan) sudah dicontohkan pada masa Nabi dan tidak ada diskriminatif antara kaum laki-laki dan perempuan dalam memperoleh ilmu pengetahuan, sebagaimana yang didiriwayatkan oleh Abu Bakar ibn Sulaiman ibn Abi Khaitsamah dari asy-Ayifa' binti Abdullah bahwa ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : "الا تعلمين رقية النملة كما علمتها الكتابة". Selengkapnya, Lihat Muhammad 'Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (terj) H.M. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, (Jakarta : Media Pratama, 2007), hlm. 130.
[6]. Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca, Ayat ini sangat jelas dan juga mempertegas bahwa yang pertama kali diajarkan kepada ummat adalah baca tulis Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya. (Bandung : Al-Jumanatul 'Ali -ART, 2007).
[7] Adnan Hasan Shalih Baharits, Mendidik Anak Laki-laki, (Jakarta : Gema Insani, 2007), hlm. 272.
[8] Selengkapnya lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an : Fungsi dan Peran Wahyu, hlm. 158
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
[10] Kata ini berasal dari kata "sabaha- yasbahu- sabhun/ as-sabhu, A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia…..hlm. 603.
[11] Hadits mengenai "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina", menganjurkan untuk menuntut ilmu, dimanapun ilmu itu berada, sekalipun harus menyeberangi lautan. (Para 'ulama' mengatakan hadits ini tidak shohih). sebagai contoh, perjalanan Nabi Musa ‘Alaihissalam untuk menemui Nabi Khidhir ‘Alaihissalam dalam rangka menuntut ilmu yang disebutkan oleh Allah dalam Surat al-Kahfi. Selengkapnya lihat, Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.   Hlm. 300.
[12] Imam abi Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi, Muhtashor Shahih Muslim (Bairut : al-Maktabatul Islami, 1987), hlm. 498. Lihat selengkapnya Hafid Ibn Hajar al Askolani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Terj) M Mahfudi al-Adib (Semarang : Toha putra. Tt) Hlm.752. lihat juga, Adnan Hasan Shalih Baharits, Mendidik…. Hal. 123.
[13] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia….. hlm. 536.
[14] Adnan Hasan Shalih Baharits, Mendidik…. Hal. 232
[15] Selengkapnya, lihat. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an…….hlm. 175
[16] Ibid, hlm. 162.
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
[18] Ibid, Hal ini akan terjadi apabila ada keharmonisan, karena keharmonisan hubungan melahirkan kemajua dan perkembangan masyarakat. Selengkapnya, lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an….hlm.  161.

No comments:

Post a Comment