Pendahuluan
Kehadiran
Hadits di tengah umat Islam tidak terlepas dari sejarah. Perpaduan antara
sejarah telah melahirkan Hadits. Korelasi antara keduanya tak bisa diabaikan
begitu saja, tanpa melibatkan atau menyisihkan salah satunya hanya akan membuat
teks terapung dari konteksnya. Namun demikian, titik tekan sabda Nabi ini bukan
hanya berakhir setelah memahami sejarah itu semata, melainkan usaha untuk
terjun langsung meneliti keberadaan teks Hadits juga tak kalah pentingnya.
Sampai
saat ini, keberadaan teks Hadits masih mendominasi percaturan pemikiran ulama.
Tak terkecuali pada dekade terakhir ini. Bahkan tentang "teks" itu
sendiri menurut pandangan Nasr Hamid Abu Zaid menjadi barometer kecerdasan
seseorang.[1]
Bertolak dari ini, maka kajian tentang teks Hadits menjadi sangat penting. Bahwa
tidak sedikit sandaran pemikiran hanya disokong oleh potongan-potongan teks
tanpa ada usaha untuk mendalaminya.
Seperti
kita ketahui bersama bahwa Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah
al-qur'an. Secara teoritis, tentunya ini lebih mudah dari pada mempelajari
al-qur'an karena Hadits merupakan penjelas makna dan isi yang terkandung dalam
al-qur'an. Namun pada kenyataannya tidak kalah sulitnya seperti mempelajari Al-Qur'an.
Ini disebabkan Hadits tersebar dibeberapa koleksi dengan kualitas yang beragam,
tidak semuanya Hadits pada kualitas yang sama (shahih, hasan, dha'if).
Selanjutnya,
penulis disini tidak bermaksud untuk menjelaskan tentang kualitas hadits, namun
hanya sekedar mencoba untuk melihat beberapa aspek dan maksud dari tek Hadits
yang berbicara tentang pendidikan (mendidik anak) dan menguraikannya kedalam
konteks kekinian.[2]
Teks Hadits
Hadits
didefinisikan oleh para ulama' pada umumnya sebagai "segala sesuatu yang
dinisbatkan kepada Muhammad SAW., baik ucapan, perbuatan dan taqrir
(ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi Nabi
maupun sesudahnya. Namun ulama ushul fiqh membatasi pengertian hadits
hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad yang berkaitan dengan hukum.
Namun
problem menyangkut pemaknaannya sebuah teks hadits dalam masih dapt muncul.
Apakah pemahaman makna hadits harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak.
Apakah konteks tersebut berkaiatan dengan pribadi pengucapnya saja, atau
mencakup mitra bicara dan kondisi social ketika diucapkan atau diperagakan?
Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman
makna hadits. Kaitan dengan pemaknaan hadits ini, para ulama berbeda pendapat.
Diantaranya adalah Al-Qarafi, as-Syatibi, Imam Syafi'ai.[3]
Pembahasan Dari
Segi Makna Hadits
Hadits
ini menunjukkkan bahwa masih banyak orang yang belum paham dan mengerti
terhadap keberadaan diri dan anaknya. Penelantaran terhadap anak sering
terjadi. Tak terkecuali pada zaman sekarang ini. Dari latar belakang itulah
Hadits ini hadir untuk memberikan makna dan tanggung jawab penuh dari orang tua
terhadap anaknya. Dengan demikian Hadits diatas perlu diangkat ke permukaan
untuk menguak sisi pendidikan yang terkandung di dalamnya dan sebagai bukti
peran Nabi dalam mendidik anak (sebagai penerus bangsa).
Makna "Haq Al-walad 'ala al
waalid"
Definisi
Hak al-walad 'ala al-waalid adalah sesuatu yang harus diberikan orang
tua terhadap anaknya. Menurut hemat penulis, secara tekstual ada tiga aspek
yang dapat diambil dari hadits Nabi mengenai kewajiban orang tua dalam mendidik
anak yaitu al-kitabah (menulis), al-Sibahah ( berenang) dan
al-Rimayah (memanah).
Makna "Al-Kitabah"
Al-Kitaabah adalah bentuk masdar dari
fi'il madli kataba- yaktubu yang artinya "menulis".[4]
Bahwa Islam bukan hanya agama yang bangga dengan banyaknya umat Islam melainkan
bagaimana membuat anak didik sanggup mengarungi kehidupannya kelak dengan
kemampuan diri yang berkualitas. Hak anak terhadap orang tua ini tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Tapi merupakan suatu keharusan yang tak bisa diabaikan.
Salah
satu yang tertuang dalam Hadits ini adalah berupa pendidikan (tulis menulis). Dari
Hadits tersebut, Nabi Muhammad menganjurkan untuk memberikan sesuatu kepada
anaknya yang pertama kali berupa ilmu pengetahuan bukan berupa harta benda ataupun
mengajari dengan bekerja. Sekalipun harta yang diberikan tapi bagaimana bisa
membawanya menjadi takwa kepada Allah SWT. Hal ini perlu diungkap disini
mengingat sampai detik ini pendidikan moral tak jua menemukan konsep yang jelas
dan hanya mengarah kepada bagaimana peserta didik dipersiapkan.untuk mudah
mendapatkan suatu pekerjaan semata tanpa menekankan pada akhlak atau moral.
Pada
hakikatnya, manusia dilahirkan "kedunia fana" dalam keadaan fitrah,
tidak bisa membaca dan menulis. Maka orang tuanyalah yang berkewajiban untuk mendidik
dan mengajarinya. Pemberian pendengaran, penglihatan dan jiwa perasa secara
cuma-cuma dari Allah bukan untuk disia-siakan tetapi hal ini agar diisi untuk
menemukan hakikat Tuhan sehingga manusia bisa bersyukur.
Yang tidak bisa
diragukan lagi adalah bahwa sebenarnya tradisi tulis menulis sudah tersebar
pada masa Nabi Muhammad SAW. Dalam skup yang lebih luas dibanding pada masa
pra-Islam. Sebab Al-Qur'an telah memerintahkan belajar dan Nabi Muhammad
sendiri juga menganjurkan hal itu. Karakter risalah membawa konsekuensi
maraknya para pelajar, pembaca dan penulis. Karena wahyu memerlukan ahli tulis
(penulis), surat
menyurat, perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan yang menyangkut
kenegaraan juga memerlukan ahli tulis.
Belajar tulis menulis tidak hanya berlaku bagi kaum
laki-laki saja namun juga diperuntukkan bagi kaum wanita. Belajar tulis menulis
juga diceritakan pada pengaruh dari perang badar bagi pengajaran anak-anak
Madinah, yaitu ketika Rasul SAW mengijinkan tawanan-tawanan perang untuk
ditebus, masing-masing tawanan diantara mereka yang bisa menulis, dengan
mengajar tulis baca kepada sepuluh anak muslim Madinah.[5]
Berbicara tentang menulis tentu tidak bisa lepas dari
kegiatan membaca karena dua hal ini tidak bisa dipisahkan dan selalu berkaitan.
Selain Hadits Nabi diatas, Al-Qur'an telah memerintahkan untuk belajar tulis
menulis seperti yang ada pada surah al-alaq.
Artinya: "Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya
(Q.S. Al-Alaaq) [96] ayat :1-5.[6]
Imam Qatadah mentafsirkan bahwa al-qalam (pena) adalah
nikmat Allah yang besar.[7]
Penulis mendefinisikan arti menulis di sini dengan arti membaca dan memahami
situasi, kondisi dan perkembangan zaman disaat anak tersebut dilahirkan –bukan
disaat orang tuanya dilahirkan– sehingga bagaimana orang tua mengajari dan
mempersiapkan buah hatinya untuk bisa membaca keadaan tersebut agar dapat
melaksanakan amanah sebagai "khalifah" dimuka bumi ini dengan benar. Menurut
Quraisy Syihab mengenai khalifah ini, beliau menentukan tiga unsur dalam arti
ke-khalifah-an yaitu; Manusia, alam raya dan hubungan antara manusia dengan
alam dan segala isinya. [8]
Pendidikan
anak adalah perkara yang sangat penting di dalam agama Islam. Sebagaimana
firman Allah yang telah memerintahkan kepada ummat-Nya untuk selalu menjaga
diri dan keluarganya dari siksa api neraka. Seperti yang telah dijelaskan Allah
dalam surah at-Tahrim [66] ayat 6 :
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim:[66] 6)[9]
Dan
di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah
bersabda yang artinya:
“Setiap diantara
kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban”.(HR. Bukhari-Muslim).
Di
dalam Al-Quran kita juga mendapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah
Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula dalam Hadits-Hadits
Rasulullah kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik
dari perintah maupun perbuatan, beliau mendidik anak secara langsung.
Makna "Al-Sibaahah"
Makna
kata as-Sibaahah sama dengan kata as-Sibhu yaitu berenang.[10]
Setelah mengajari untuk menulis (membaca, mengumpulkan/ al-dhommu) serta
memotret keadaan dan perkembangan zaman dimana anak tersebut tumbuh dewasa
nanti, Nabi Muhammad juga menganjurkan kepada orang tua agar mengajari anaknya
untuk berenang
Menurut penulis, ada dua hal yang bisa dipahami
dari kata as-sibaahah. Pertama, penjelajahan lautan. Bahwa hidup bukan hanya di darat semata, itu
adalah hal yang pasti. Karena itu, pemahaman tentang kelautan sekaligus
kaitannya dengan ilmu pengetahuan tidaklah sedikit. Bahari sebagai dunia (unsur
bumi) lain dari daratan ini memiliki banyak fungsi yang harus dikuak lewat
pendidikan. Lahirnya ilmu kelautan bisa dijadikan contoh tentang pentingnya
laut.
Dengan
kata lain, pendidikan bukan hanya berlangsung di satu tempat (daratan) saja
melainkan harus mampu menyebrangi samudra yang luas. Inilah mengapa dalam Hadits
lain Nabi menganjurkan agar mencari ilmu ke negri China .[11]
Suatu Negara yang dipisah oleh jarak laut yang sangat luas. Karena itu,
memaknai "berenang" bukan hanya mengajar terapung di air tapi
bagaimana seorang anak mempunyai keinginan untuk menyebrangi lautan sehingga
menemukan kekuasaan Allah yang tak terhingga ini.
Kedua, kemampuan mengambil hikmah. Dalam
banyak literatur tasawuf disebutkan syari'at adalah perahu. Maka menyelam
menemukan hakekat (ma'rifat) merupakan kelanjutan jalan menuju Allah (thariqah
dan bahkan hakikat). Jalan-jalan ini bisa ditemukan dengan kecerdasan mencari
hikmah di balik dunia ini. Kontemplasi atau 'uzlah dari kehidupan duniawi untuk
mencari kesempurnaan hidup akhirati kemudian menjadi sangat penting.
Dalam
Hadits yang lain dijelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu yaitu Hadits yang telah
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi telah bersabda : "
Artinya: "….. Barang siapa yang menempuh
perjalanan guna mendapatkan ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya perjalanan
menuju surga………"(HR. Muslim).[12]
Hemat
penulis, makna "Surga" disini dapat diartikan dengan
bermacam-macam makna, yaitu dapat diartikan sebagai kebahagiaan, ketenangan
(al-sakinah), ketentraman dan rahmah baik didunia maupun diakhirat nanti.
Dengan
berlandas tumpu pada pemahaman ini, maka anak didik harus diarahkan pada
pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Sehingga ilmu yang didapat bukan
menggantung di atas teori-teori tapi juga mendarat dalam dunia praktek prilaku
sehari-hari.
Makna "Al-Rimaayah"
Ar-Rimaayah merupakan bentuk masdar dari
kata ramay yang artinya melemparkan[13]
(memanah). Sedangkan antara Berenang dan memanah merupakan suatu tempat
yang berlawanan. Berenang merupakan suatu tempat yang identik dengan lautan, sedangkan
memanah merupakan tempat yang berada didaratan. Namun dua tempat tersebut tidak
bisa dipisahkan mengingat unsur tempat yang kita diami ini mengandung unsur
daratan dan lautan.
Disamping
perintah Nabi Muhammad untuk memberikan pelajaran tentang "berenang",
dalam Hadits itu juga dianjurkan untuk memberikan keterampilan memanah (al
rimayah). Secara
substantif kata ini juga tidak bisa hanya berhenti pada memanah an sich
tapi bisa meluas pada ranah cita-cita masa depan ataupun ketrampilan. Untuk menumbuhkan minat belajar, anak harus diberikan gambaran
tentang kehidupan masa depan.
Diakui
atau tidak, cita-cita akan memotivasi anak untuk terus mengejar apa yang akan
dicapai. Tujuan hidup yang layak baik di dunia maupun di akhirat harus mampu
dibidik oleh anak sejak dini. Sehingga arah dan orientasi hidupnya mulai
terbayang. Pendidikan semacam ini begitu sangat penting mengingat sampai saat
ini pendidikan hanya berupa pengulangan bahasa dan kata bukan menumbuhkan ide.
Berani untuk bercita-cita merupakan petunjuk awal bagi cerahnya masa depan
anak.
Hal
inilah yang perlu dikembang suburkan dalam diri anak. Maka membiarkan anak
hanyut dalam retorika dan transfer ide merupakan penindasan terselubung atas
nama pendidikan. Sebaliknya, membiarkan anak didik melesat bagai anak panah
menuju masa depan yang dicita-citakannya harus terus dikembangkan. Atau dengan
kata lain, tidak boleh ada pembelengguan potensi dari orang tua lebih-lebih
dari guru terhadap anak.
Karena
dalam Hadits lain Nabi bersabda bahwa anak diciptakan pada suatu zaman yang
sangat mungkin berbeda jauh dengan zaman yang ditemui oleh orang tuanya.[14]
Ia akan terus berjalan seiring dengan berputarnya waktu dan perjalanan zaman
melewati berbagai tikungan dan rintangan yang berbeda pula.
Hubungan
antara manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan
hubungan antara Penakhluk dan yang ditakhlukkan, atau antara tuan dan hamba,
tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Kekhalifahan
menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan
alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya. Semua
itu harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan
dan situasi lingkungannya.
Al-Qur'an al-Karim,
dalam mengarahkan pendidikannya kepada manusia dengan memandang, menghadapi dan
memperlakukan makhluk tersebut sejalan dengan unsur penciptaannya : jasmani, akal
dan jiwa. Atau, dengan kata lain, "mengarahkannya menjadi manusia
seutuhnya[15] serta
untuk mencapai rasa aman, ada sekian banyak sikap yang dituntut oleh agama dari
pemeluknya. Menurut Prof. Mubyarto -seperti yang dikutip oleh Qurash shihab-
ada lima hal pokok
untuk mencapai hal tersebut :
1.
Kebutuhan dasar
setiap masyarakat harus terpenuhi,
2.
Manusia terjamin
dalam mencari nafkah,
3.
Manusia bebas
untuk memilih bagaimana untuk mewujudkan hidupnya sesuai dengan cita-citanya.
4.
Ada kemungkinan
untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya.
5.
Partisipasi
dalam kehidupan social politik, sehinga seseorang tidak semata-mata menjadi
obyek penetu orang lain.[16]
Ketika
manusia telah memahami kewajiban dan tanggung jawab sebagai khalifah dimuka
bumi, diharapkan akan memperlakukan dengan baik tempat dimana ia berpijak.
Artinya tidak akan berbuat kerusakan, karena kerusakan di lautan maupun
didaratan adalah semata-mata perbuatan manusia yang kurang mengetahui akan
manfmaat dan madharatnya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam surat ar-Rum[30] Ayat 41;
Artinya: "Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."(Q.S. ar-Ruum[30]. 41)[17]
Untuk
itu -tidak bisa tidak-, orang tua harus tahu apa saja yang harus diajarkan
kepada anak-anaknya serta bagaimana metode yang telah dituntunkan oleh
junjungan umat ini. Seorang pendidik, baik orang tua maupun guru hendaknya
mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah terhadap
pendidikan putra-putrinya. Semakin baik interaksi manusia dengan manusia, dan
interaksi manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam, pasti semakin
banyak yang dapat dimanfaatkan dari alam raya ini. Bukti bahwa Allah akan
merestui terungkap antara lain pada surah Al-Jin[72] ayat 16.
Artinya: "Dan
bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama
Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki
yang banyak)" (Q.S. Al-Jin[72]. 16).[18]
Kesimpulan
Dari
uraian mengenai tektualitas Hadits yang menjadi topik makalah ini dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa pendidikan yang diajarkan Nabi bertujuan agar orang tua
mengarahkan anak-anaknya mampu menguasai segala bidang ilmu (bukan hanya satu
bidang disiplin ilmu) agar kelak menjadi khalifah yang arif dan bijaksana
selama ia benar-benar menyadari arti kekhalifahannya.
Dari uraian mengenai tektualitas Hadits yang menjadi
topik makalah ini jelaslah apa yang ingin dicapai, yakni terbentuknya manusia
yang tinggi takwanya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas dan terampil, berbudi
pekerti luhur dan berkepribadian serta memiliki semangat kebangsaan. Semuanya
bertujuan untuk menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya sendiri dan bersama-sama bertangung jawab atas pembangunan bangsa dan
Negara.
Dengan memahami aspek dan fungsi Hadits sebagai penjelas
atas wahyu Tuhan berikut realitas yang mengitarinya kita dapat menemukan
nilai-nilai pendidikan dalam kandungan Hadits secara bertahap sehingga akan
mempermudah kita untuk menggali makna Hadits yang terkandung di dalamnya.
Selain itu, pemecahan masalah social yang dihadapi masyarakat akan segera
tertangani dengan kemampuan kita memahami Hadits di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, kehadiran Hadits diharapkan berperan
aktif dalam pembentukan budaya muslim dan moral manusia untuk menjadi
masyarakat terdidik dan memahami posisi dan statusnya di muka bumi sesuai
dengan kehendak dan perintah Allah. Ketimpangan sosial dan ketidak adilan harus
segera dienyahkan dan diganti dengan tatanan sosial yang damai berhaluan ridha
Allah.
Sebagai akhiran dari makalah ini, penulis hanya bisa
mengatakan bahwa " Kebenaran makalah ini adalah relatif karena
kebenaran yang hakiki hanyalah milik Allah SWT".
"Wallahu A’lam"
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Khathib, Muhammad
'Ajaj, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (terj) H.M. Qodirun
Nur, Ahmad Musyafiq, Jakarta : Media Pratama, 2007.
Askolani, Hafid Ibn Hajar,
Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam (Terj) M Mahfudi al-Adib, Semarang : Toha
Putra. Tt.
Baharits, Adnan Hasan
Shalih, Mendidik Anak Laki-laki, Jakarta : Gema Insani, 2007.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahnya. Bandung :
Al-Jumanatul 'Ali -ART, 2007.
Munawwir, A.W. Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif, 2002.
Muslim, Imam abi Husain, Ibnu
al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi, Muhtashor Shahih Muslim (Bairut :
al-Maktabatul Islami, 1987).
Shihab, M. Quraish, Membumikan
Al-Qur'an : Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan. 1994.
Zaid, Nasr Hamid Abu, Teks
Otoritas Kebenaran, Yogyakarta : LKiS, 2003.
[1] Nasr Hamid Abu Zaid, Teks
Otoritas Kebenaran, (Yogyakarta : LKiS,
2003). Hlm. 179
[2] Didalam budaya dimana teks keagamaan senantiasa menjadi proses
edar, upaya mengungkap konsep teks juga berarti mengungkap mekanisme yang
melahirkan pengetahuan,, karena teks keagamaan menjadi teks yang melahirkan
seluruh atau sebagian tipe-tipe teks yang dikandung oleh memori atau budaya
tersebut. Ibid, hlm. 179-180.
[3] Selengkapnya lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an :
Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, (Bandung : Mizan. 1994),
hlm 124-125.
[4] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya : Pustaka
Progresif, 2002), hlm. 1187.
[5] Dari sejarah ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pembebasan
terhadap kebodohan (pendidikan) sudah dicontohkan pada masa Nabi dan tidak ada
diskriminatif antara kaum laki-laki dan perempuan dalam memperoleh ilmu
pengetahuan, sebagaimana yang didiriwayatkan oleh Abu Bakar ibn Sulaiman ibn
Abi Khaitsamah dari asy-Ayifa' binti Abdullah bahwa ia berkata : Rasulullah SAW
bersabda : "الا تعلمين رقية النملة كما علمتها الكتابة". Selengkapnya,
Lihat Muhammad 'Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits,
(terj) H.M. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, (Jakarta : Media Pratama, 2007), hlm.
130.
[6]. Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca,
Ayat ini sangat jelas dan juga mempertegas bahwa yang pertama kali diajarkan
kepada ummat adalah baca tulis Departemen Agama
RI , Al-Qur'an dan Terjemahnya.
(Bandung :
Al-Jumanatul 'Ali -ART, 2007).
[7] Adnan Hasan Shalih Baharits, Mendidik Anak Laki-laki,
(Jakarta : Gema Insani, 2007), hlm. 272.
[8] Selengkapnya lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an :
Fungsi dan Peran Wahyu, hlm. 158
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
[10] Kata ini berasal dari kata "sabaha- yasbahu- sabhun/
as-sabhu, A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia…..hlm.
603.
[11] Hadits mengenai "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri cina",
menganjurkan untuk menuntut ilmu, dimanapun ilmu itu berada, sekalipun harus
menyeberangi lautan. (Para 'ulama' mengatakan
hadits ini tidak shohih). sebagai contoh, perjalanan Nabi Musa ‘Alaihissalam
untuk menemui Nabi Khidhir ‘Alaihissalam dalam rangka menuntut ilmu yang
disebutkan oleh Allah dalam Surat
al-Kahfi. Selengkapnya lihat, Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya. Hlm. 300.
[12] Imam abi Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi, Muhtashor
Shahih Muslim (Bairut : al-Maktabatul Islami, 1987), hlm. 498. Lihat
selengkapnya Hafid
Ibn Hajar al Askolani, Bulughul Maram Min Adillatil
Ahkam
(Terj) M Mahfudi al-Adib (Semarang
: Toha putra. Tt) Hlm.752. lihat juga, Adnan Hasan
Shalih Baharits, Mendidik…. Hal. 123.
[13] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia….. hlm. 536.
[14] Adnan Hasan Shalih Baharits, Mendidik…. Hal. 232
[15] Selengkapnya, lihat. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an…….hlm.
175
[16] Ibid, hlm. 162.
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya.
[18] Ibid, Hal ini akan terjadi apabila ada keharmonisan, karena
keharmonisan hubungan melahirkan kemajua dan perkembangan masyarakat.
Selengkapnya, lihat M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an….hlm. 161.
No comments:
Post a Comment