Oleh : Ahmad
Mustaghfirin
A. Pendahuluan
A. Pendahuluan
Fajar kemerdekaan tiba setelah Jepang – Herosima dan Nagasaki –
ditaklukkan (dibom) oleh Amerika dan sekutunya Pada tanggal 6 dan 9 Agustus
1945, Jepang menyerah kepada sekutu. Bangsa Indonesia mulai mendapatkan angin
segar setelah terjadi revolusi nasional yang meletus pada tanggal 17 Agustus 1945
dalam bentuk “Proklamasi Kemerdekaan”.[1]
Kemerdekaan ini mematahkan belenggu penjajahan dan penindasan selama
beratahun-tahun lamanya. Hal ini menimbulkan hidup baru di hampir semua sektor.
Bukan hanya sektor ekonomi, politik, dan sosial budaya, namun termasuk didalamnya
sektor pendidikan,[2]
sehinga sangatlah perlu untuk mengubah sistem pendidikan sesuai dengan cita-cita
bangsa. Sejak lahirnya kemerdekaan, pendidikan di Indonesia
masih mengalami transisi dan benturan yang sangat dahsyat yaitu perang
fisik
dan non fisik yang ditimbulkan oleh penjajah. Pendidikan terintervensi
oleh kekuatan politik terutama model pendidikan Belanda dan Jepang.
Perkembangan selanjutnya, apa hubungannya
dengan pendidikan dalam lintas kekuasaan politik Negara, karena pendidikan
sebagai lembaga formal yang di formulasi dalam bentuk kebijakan pemerintah
untuk memutuskan keputusan yang mendapatkan keabsahan dalam menentukan arah dan
tujuan pendidikan nasional yang sangat diharapkan. Namun, dalam perkembangannya
dunia pendidikan selalu ditopang oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan
sehingga melahirkan perubahan baru dalam kebijakan politik pendidikan baik
ditingkat pendidikan pusat maupun daerah sehingga lahirlah kebijakan pemerintah
baru yang sebut dengan "Otonomi Pendidikan".[3]
Dengan asumsi diatas bahwa pendidikan
merupakan hasil kreasi pergulatan politik nasional sepanjang sejarah untuk
mewarnai nilai-nilai demokrasi pendidikan masa depan. Politik pendidikan adalah
satu rangkaian yang tidak terpisahkan dengan realitas Negara yang berkembang
karena Negara bagian dari kontrol perkembangan pendidikan yang harus dijaga
dalam perubahan masyarakat, dengan demikian pendidikan merupakan unsur yang
sangat beragam dalam memberikan keputusan yang dilakukan oleh kebijakan
pemerintah. Bagi penulis yang harus ditekankan disini adalah ringkasan dan gagasan
besar mengenai perjalanan pendidikan nasional dalam pergulatan politik
kekuasaan Negara yang sangat dominan untuk menentukan proses lembaga pendidikan
nasional selanjutnya. Kajian politik pendidikan terkonsentrasi pada peranan Negara dalam
bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan asumsi dan maksud dari berbagai
strategi perubahan pendidikan dalam suatu masyarakat secara lebih baik.
Tulisan ini untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan politik dan menjelaskan bagaimana hubungan
politik dengan pendidikan serta bagaimana sketsa politik pendidikan di Indonesia
agar politik pendidikan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
kaitan antara berbagai kebutuhan politik Negara dengan isu–isu praktis sehari
hari.
B.
Politik dan Pendidikan
Nasional
Politik adalah proses pembentukan
dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat
yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian
ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang
berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu
politik. Dalam pengertian lain, Politik adalah
seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non konstitusional.
Ki Hajar Dewantara mengartikan
pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta
jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan
menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir
bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup yang
mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah. Manusia sebagai mahluk yang
diberikan kelebihan oleh Allah dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang
tidak dimiliki mahluk lain, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu
pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.[1]
Sedangkan politik
pendidikan nasional, Mohammad Noor Syam memberikan pengertian bahwa Pendidikan
Nasional adalah pelaksanaan pendidikan suatu Negara yang berdasarkan kepada
sosio-kultural, sosio-psikologis, sosio-ekonomis, dan sosio-politis.[2] Hal ini diperkuat oleh Hasbullah bahwa,
pendidikan nasional merupakan pelaksanaan pendidikan suatu Negara yang
berdasarkan kepada sosio cultural, psikologis, ekonomis dan politis.[3] Dengan
demikian, pendidikan harus mampu untuk merubah sistem kekuasaan yang berlaku
jika sistem itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh rakyat secara umum. Jadi, Politik pendidikan
adalah kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan
dengan cara–cara penyampaiannya.
C. Kontrol Negara Terhadap Pendidikan
Sebagai
suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan
masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai
wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program – program dan proses
yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa
untuk mendapatkan output yang diinginkan. Ini yang menjadi salah satu alasan
mengapa suatu Negara sangat peduli dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang
besar untuk bidang pendidikan. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu
sistem pendidikan yang memiliki kharakteristik,
kualitas, arah, dan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya
keinginan tersebut, banyak Negara yang menerapkan control yang sangat ketat
terhadap program–program pendidikan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh
Negara maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Pemerintah
adalah bagian dari Negara yang paling kasat mata dan dapat juga menjadi bagian
paling penting dan paling aktif dari Negara, tetapi pemerintah bukanlah
keseluruhan dari Negara. Negara terdiri dari berbagai institusi yang masing
masing memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan kenegaraan.
D. Pergulatan Politik Pendidikan Nasional
Pasca Kemerdekaan
Sejalan
dengan pergantian dari waktu ke waktu, sejarah bangsa dan Negara Indonesia Pasca
Proklamasi Kemerdekaan, sejarah pendidikan nasional pasca kemerdekaan tidak
lepas dari pengaruh kondisi social-politik yang ada.
Sketsa
penyelenggaraan pendidikan pasca kemerdekaan ini dapat dibagi atas bebarapa masa
(era) perkembangan, yaitu :
- Era Orde Lama, dari 1945 sampai 1965.
- Era Orde Baru, dari 1966 sampai 1998.
- Era Reformasi, dari 1998 sampai sekarang.
- Era Orde Lama, 1945 sampai 1966.
Secara
garis besar, era orde lama ini dalam kegiatan pendidikan di tanah air lebih
mengarah pada pemantapan nilai–nilai nasionalisme, identitas bangsa, dan
pembangunan fondasi ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utama
pendidikan pada periode ini adalah nation and character building dan kendali
utama penyelenggaraan pendidikan nasional dipengang oleh tokoh – tokoh
nasionalis.
Transisi
kebijakan pendidikan nasional pada masa ini dapat diikuti sesuai dengan
peristiwa-peristiwa penting sebagai pengingat,[4] yaitu :
Periode
1945 – 1950
Semangat
revolusi sangat dominan pada periode ini. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pada Tanggal 17 Agusus 1945, maka perubahan yang terjadi tidak hanya pada
bidang pemerintahan saja, namun juga dalam bidang pendidikan. Perubahan yang
terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar
yaitu menyangkut kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa yang
merdeka. Pada periode ini, bangsa Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Namun pada periode ini masih terjadi
instabilitas dikarenakan oleh situasi social-politik yang belum stabil,[5] sehingga peride ini sering terjadi pergantian mentari dan rata-rata kabinet
Indonesia berumur antara 7-8 bulan.
Pada
periode ini, tujuan pendidikan mengalami perubahan yang signifikan. Setelah
bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaan, usaha yang dilakukan adalah membuka
sekolah sebanyak-banyaknya dari semua jenis yang ada.[6] Rencana dan upaya untuk meningkatkan
pembaharuan pendidikan sebenarnya telah dipersiapkan pada akhir masa penjajahan
jepang. Sehingga pada masa pasca kemerdekaan melalui Menteri PP dan K yang
pertama KH. Dewantara[7] mengeluarkan intruksi umum kepada
lembaga-lembaga sekolah. Intruksi tersebut berupa :
-
Pengibaran Sang Merah Putih
tiap hari di halaman sekolah.
-
Melagukan lagu kebangsaan Indonesia
Raya.
-
Menghenikan pengibaran bendera
Jepang dan menghapuskan nyanyian “Kimigayo” (lagu kebangsaan Jepang)
-
Menghapuskan pelajaran bahasa
Jepang, serta upacara yang berasal dari balatentara jepang.
Upaya ini
dinilai belumlah cukup untuk menjawab dan memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia
yang haus akan ilmu pengetahuan dan kemajuan. Sehubungan dengan masalah-masalah
yang dihadapi dunia pendidikan saat itu, reformasi pendidikan harus bersifat
komprehensif dan menyeluruh, baik pada tingkat konsep maupun penyelenggaraan.
Secara
jujur harus diakui bahwa sistem pendidikan kolonial masih berlanjut ke dalam
sistem pendidikan nasional dimana pendidikan diberikan hanya sekedar memenuhi
hidup. Namun pada periode ini, terdapat aspek positif bagi perkembangan
pendidikan nasional. Aspek-aspek tersebut antara lain
adalah :
1. Berkembangnya bahasa Indonesia secara luas
diseluruh wilayah Indonesia. Sebagai contoh adalah banyaknya penterjemahan buku
asing ke dalam bahasa Indonesia, pembakuan isilah-istilah.
2. Latihan fisik dan bela diri mulai
dikembangkan.
3.
Tumbuhnya rasa kangen akan
kebudayaan bangsa.
4. Dihilangkannya diskriminasi bagi semua
lapisan masyarakat.
Pada
periode ini, telah terjadi penyelenggarakan beberapa konggres pendidikan Indonesia
: yang pertama diadakan di Solo pada tanggal 4-7 Maret 1947. Kemudian sebagai tindak lanjut dari kongres tersebut dibentuklah
Panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran oleh
Menteri PP dan K (Mr. Ali Sastroamidjojo) pada tahun 1948 yang diketuai oleh KH.
Dewantara. Kemudian juga diadakan Kongres Pendidikan di Yogyakarta pada tahun
1949 juga di ketuai oleh KH. Dewantara dan penulisnya S. Brodjonegoro.[10]
Dari hasil kongres tersebut merupakan bahan yang berarti bagi lahirnya
Undang-undang tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950 yang
pertama.
Periode 1950 – 1959
Periode ini
dipandang sebagai fase yang spesifik. Hal ini tidak lain sebabkan oleh faktor
sosio-politik yang berpengaruh terhadap situasi pendidikan nasional dari fase
sebelumnya. Faktor-faktor[11]
yang mempengaruhi adalah; pertama, terjadinya perubahan Negara dari RIS
ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyebabkan Indonesia mempunyai
sistem politik yang mapan sehingga Indonesia masuk sebagai anggota dewan PBB
yang ke 60, dan pada fase ini pula telah diselenggarakannya Konferensi
Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Kedua,berlakunya
sistem politik Demokrasi Liberal/ Parlementer yang berlangsung pada tahun
1951-1959. ketiga, adanya dekrit presiden 1959 dengan Manifesto Politik
UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan
Kepribadian Indonesia (yang disingkat Manipol USDEK). Keempat, terbentuknya
UUPP No. 4 Tahun 1950 secara regional dan namun baru berlaku pada tahun secara
nasional melalui UUPP No. 12 tahun 1954.
Periode
1959 – 1965
Periode ini lebih dikenal dengan
periode Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang ditandai dengan
berlakunya sistem Demokrasi Terpimpin. Sistem ini menciptakan kondisi politik
dimana unsur komunis mendominasi semua bidang. Pada periode ini, muncul
pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme
yang nasionalistik dan patriotik. Mereka lebih banyak masuk dengan kepentingan
kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk
memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya.
Dalam pandangan mereka dunia pendidikan
tidak menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang mudah,
yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan,
digeser ke pinggir. Hal ini bisa dilihat dari animo partai politik terhadap
posisi-posisi politis. pada umumnya untuk kementerian Ekonomi, Keuangan, dan
Perdagangan, sedangkan kementerian Pendidikan dianggap poisisi kering, sehingga
klop kalau dikategorikan sebagai pelengkap atau hiburan yang boleh diambil
siapa pun yang berminat. Maka tidak mengherankan bila dalama periode tersebut
dunia pendidikan mengalami krisis.
Pada tanggal 5 juli 1959, Presiden mengeluarkan
Dekrit yang isinya memperkuat posisi presiden dan melemahkan parpol. Masa ini
disebut "Manifesto Politik atau Manipol". Secara ideologis, Manipol
bertentangan dengan Pancasila.
Menurut Abd. Rachman Assegaf, setidaknya
ada tiga hal pengaruh dari Manipol terhadap pendidikan nasional, yaitu;
1.
Ideologi Manipol diindoktrinasikan kepada seluruh
lapisan masyarakat termasuk di semua jenjang pendidikan. Ide manipol ini
mengubah corak pendidikan nasional menjadi alat dari ideologi Komunis sehingga
yang menyambut baik dengan ideologi ini hanya golongan komunis.
2.
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan
warga yang sosialis Indonesia yang susila. Jadi, tujuan pendidikan ini
menggeser tujuan pendidikan sebelumnya.
3.
Pancasila dan Manipol dijadikan materi pelajaran di
Perguruan rendah sampai perguruan tinggi dan pelajaran agama merupakan mata
pelajaran "pilihan" (artinya boleh diikuti dan boleh tidak diikuti).[12]
Orde baru memberikan corak baru
terhadap kebijakan pendidikan agama Islam. Hal ini atas pengaruh dari peralihan
komunisme ke arah pemurnian pancasila melalui rencana pembangunan nasional
berkelanjutan. Diantaranya yang semula murid berhak tidak ikut pelajaran agama,
menjadi semua murid wajib mengikuti pelajaran agama baik dari pendidikan dasar
sampai PT.
Orde baru sering diidentikkan dengan
masa pembangunan. Hal ini disebabkan dengan strategi politiknya yang ditujukan pada
empat tahap yaitu; pertama, penghancuran PKI serta lembaga yang
bernuansa PKI dan proses de-Nasakomisasi seluruh kehidupan bangsa; kedua,
konsolidasi pemerintahan serta pemurnian pancasila dan UUD 1945; ketiga,
menghapuskan dualisme kepemimpinan nasional; keempat, mengembalikan
kestabilan politik dan merencanakan pembangunan.[14]
Pada periode ini pendidikan menjadi
instrument pelaksanaan program pembangunan di berbagai bidang, khususnya bidang
pedagogi, kurikulum, organiasi, dan evaluasi pendidikan diarahkan pada
akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena fokus utama pembagunan nasional pada era Orde Baru adalah pada
bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan hasil yang sangat membanggakan.
Pertumbuhan ekonomi meningkat tajam sebesar 6,8% melebihi rata-rata yang
ditetapkan setiap pelita yaitu 5%.[15] Akan tetapi,
pembangunan ekonomi berjalan tidak seimbang dengan demokrasi.
Walaupun dalam sektor pendidikan tampil
dengan record positif,[16]
namun selama lebih dari 32 tahun Orde Baru, persoalan pendidikan tak beranjak
dari soal kurikulum, materi pendidikan, guru, biaya pendidikan,
saran-prasarana, evaluasi akhir, dan masalah-masalah yang sesungguhnya sejak
awal telah menjadi permasalahan yang berlarut-larut, tanpa pernah menyentuh
substansi yang sebenarnya.[17]
Taruhlah sekarang ini ada pelaku
politik yang mencoba bersuara tentang kebebasan akademik maupun otonomi sekolah
dan kampus serta keilmuan pada kenyataannya tak lebih dari sekedar
slogan-slogan kosong atau janji-janji politik manis saja. Sangat mudah
diucapkan, namun susah dilaksanakan, karena itu semua amat tergantung pada
situasi dan iklim politik. Bahwasanya antara pemerintah yang demokratis,
politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan
tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui
analisis mereka, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, institusi
pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik, lewat
tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain; justru yang
sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang
dominan bermain, baik itu dari para pekerja politik, politisi, pengendali
pemerintahan, maupun ahli politik.
Jelas sudah bila pendidikan telah
terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah
menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai
akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini
semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang
mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang
pendidikan, sehingga tidak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia
pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka
jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah
kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak
mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu.
Pendidikan nasional
pada masa ini masih terlihat sejumlah permasalahan-permasalahan besar yang
dihadapi pendidikan kita. Secara garis besar, Azyumardi
Azra membagi enam masalah-masalah yang ada pada masa orde baru, yaitu:[18]
Pertama, pendidikan masih
terbatas. Meskipun upaya pemerintah pada masa ini telah menerapkan "wajar"
(wajib belajar) 9 tahun, namun kesempatan ini belum bisa dinikmati seluruh anak
bangsa. karena upaya pemerintah untuk memberikan kesempaan pendidikan hanya
terpusat kalangan sekolah negeri yang mendapakan perhatian dan menganak tirikan
sekolah (madrasah) swasta;
Kedua, kebijakan
pendidikan yang sentralistik. Namun kebijakan tersebut menekankan keseragaman
dan secara tidak langsung membatasi ruang gerak untuk mengembangkan pendidikan
yang lebih relevan sesuai dengan social budaya, psikologi dan ekonomi.
Ketiga, pendanaan yang
masih belum memadai, karena pemerintahan pada masa ini belum menjadikan
pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam membangun Indonesia.
Keempat, akuntabilitas
yang berkaitan dengan pengembangan dan pemeliharaan sistem dan kualitas
pendidikan masih terjadi ketimpangan.
Kelima, profesialisme
guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai. Dari segi kuantitas cukup
memadai namun dari segi profesionalisme masih kurang memenuhi harapan.
Keenam, relevansi yang
masih timpang dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
3. Era Reformasi, 1998 – Sekarang
Pada
periode ini semangat desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa
oleh gerakan reformasi sehingga penataan sistem pendidikan nasional menjadi
menu utama. Dengan menelusuri prinsip–prinsip penerapan
yang diatur dalam berbagai peraturan perundang–undangan terkait.
Penetapan
arah kebijakan sektor pendidikan di Indonesia, dilandasi oleh pembaruan
kebijakan publik yang memberikan otonomi daerah. Hal tersebut sebagai wujud pelaksanaan
tuntutan reformasi yang diawali dari adanya beberapa perubahan dalam berbagai
bidang kehidupan, baik politik, moneter, hankam, dan kebijakan mendasar
lainnya. Keinginan pemerintah dalam mengejawantahkan pelaksanaan UU nomor 22
tahun 1999 tentang otonomi daerah, dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, mengarahkan sektor pendidikan pada
desentralisasi kebijakan dengan tingginya partisipasi aktif masyarakat.
Desentralisasi
pendidikan mengandung arti sebagai pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada
aparat pengelola pendidikan yang ada di daerah baik pada tingkat provinsi
maupun lokal, sebagai perpanjangan aparat pusat untuk meningkatkan efesiensi
kerja dalam pengelolaan pendidikan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan, mencakup
aspek substantif yang meliputi teknis edukatif, personel, finansia, sarana dan
prasarana, administratif, dan aspek fungsi manajemen.[19]
Konsep
desentralisasi merupakan suatu kerangka kewenangan kebijakan pengelolaan
pendidikan yang menggeser paradigma sentralisasi semasa pemerintahan orde baru.
Konsep desentralisasi dan sentralisasi mengacu pada sejauh mana wewenang
dilimpahkan, dari suatu tingkatan manajemen kepada tingkatan manajemen
berikutnya yang berada dibawahnya, atau tetap ditahan pada tingkat puncak
(sentralisasi). Manfaat desentralisasi, sama dengan manfaat delegasi, yaitu
melepaskan beban manajemen puncak, penyempurnaan pengambilan keputusan,
latihan, semangat kerja, dan inisiatif yang lebih baik pada tingkatan yang
lebih rendah.
Desentralisasi pendidikan di Indonesia mengacu
pada pemberian kewenangan kebijakan dari pemerintah pusat pada pemerintah
daerah kabupaten/ kota. Tujuan diberlakukannya desentralisasi adalah
terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan dengan tercapainya program wajib
belajar 9 tahun, adanya pengembangan keberagaman potensi peserta didik dan
lingkungan dalam konteks kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat,
meningkatnya partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, serta sistem
penyelenggaraan pendidikan yang lebih efektif dan efesien. Oleh karena itu,
desentralisasi merupakan program peningkatan tanggung jawab yang lebih besar
untuk pemerintahan tingkat porfinsi dan kabupaten dalam mencapai tujuan-tujuan
Pendididikan Untuk Semua.
Konsekuensi diberlakukannya desentralisasi
pendidikan adalah terjadinya peran pendidikan yang berkiblat pada inovasi
pemerintah daerah serta partisipasi masyarakat. Sehingga, keberadaan
perkembangan pendidikan setiap daerah tentu akan mengalami keberagaman sumber
daya, baik dari segi pembiayaan, tenaga kependidikan, kurikulum (lokal), serta
mutu yang dihasilkan. Oleh karena itu, konsepsi desentralisasi pendidikan,
berdasarkan UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 meliputi dua aspek, yaitu: substantif
yang mencakup teknis edukatif, personel, finansial, sarana dan prasarana, serta
administratif; dan, fungsi manajemen yang mencakup planning, organizing,
actuating, dan controlling. Kedua aspek tersebut pada saat ini diarahkan pada
paradigma pendidikan di Indonesia melalui program school based management.
Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah ini sebagai strategi peningkatan mutu
serta efektivitas penyelenggaraan pendidikan yang ditunjang oleh partisipasi
aktif masyarakat.
Kendati prinsip desentralisasi tengah dijalankan,
seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, namun masih menunjukkan belum
maksimalnya sektor pendidikan dalam melaksanakan peranannya bagi keberhasilan
program pemerataan kesempatan pendidikan, partisipasi masyarakat, relevansi
kurikulum, dan efesiensi serta efektivitas.
Perubahan arah kebijakan pendidikan dari
sentralistis ke desentralistis, tidak serta merta dapat dilaksanakan secara
optimal. Hal ini dikarenakan memerlukan proses penyesuaian dan persiapan,
khususnya aspek kesadaran masyarakat terhadap hasil yang diinginkan. Berbagai
fenomena kelemahan dan permasalahan dari bentuk desentralisasi pendidikan di Indonesia
dalam hubungannya dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut :
1. Rentannya
kondisi kedaulatan negara, oleh karena adanya kebebasan setiap daerah untuk
menentukan komposisi potensi yang dimiliki untuk dijadikan keunggulan dan
keandalan pendidikan. Kondisi ini dapat terjadi dari tingginya tingkat
egosentris kedaerahan yang membawa sikap primodialisme. Sehingga akan nampak
kesenjangan pendidikan dari setiap daerah yang memiliki sumber Pendapatan Asli
Daerah yang beragam.
2. Berkurangnya
wibawa pemerintah, khususnya pusat dan provinsi, oleh karena kewenangan
terletak pada daerah kabupaten/kota beserta pengelola langsung lembaga
pendidikan. Sehingga seringkali membuat suatu kebijakan yang saling
berbenturan.
3. Belum
tersedianya perangkat peraturan perundangan yang sesuai dengan tuntutan
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dalam dunia pendidikan, sehingga
menciptakan kondisi miss interpretation.
4. Prinsip
desentralisasi seringkali dipahami sebagai pelepasan tanggung jawab pemerintah
pusat pada daerah, sehingga dalam pelaksanaannya dapat membentuk sentralisasi
baru pada level kabupaten/kota.
E. Pendidikan Nasional Menuju Tatanan Indonesia
Baru
Setiap
Negara yang merdeka terutama pada zaman modern seperti sekarang ini harus
menyelenggarakan pendidikan demi cita-cita Nasional Bangsa tersebut. Pendidikan yang berdasarkan falsafah bangsa dan cita-cita nasional
itu dikenal sebagai Pendidikan Nasional.[20]
Dewasa ini,
bangsa Indonesia telah mengalami transformasi social secara revolusioner, tidak
terkecuali pada dunia pendidikan. Dari penglihatan kita,
bahwa pendidikan kita telah mengalami beberapa pergantian kebijakan. Hal ini
menyebabkan kurang bisa maksimalnya Sistem Pendidikan yang diterapkan.
Permasalahan
pendidikan di Indonesia ternyata terdapat perbedaan dari sudut pandang,
pengelompokan dan redaksional diantara para ahli. Permasalahan-permasalahan
itu harus segera mendapatkan penyelesaian.
Untuk mengatasi berbagai masalah
pendidikan dewasa ini agar permasalahan tidak terulang lagi dikemudian hari,
maka haruslah dilakukan perencanaan-perencanaan yang matang. Untuk melakukan
perencanaan yang matang tersebut, diperlukan pengkajian yang dalam terhadap
permasalahannya serta sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.[21]
Pancasila sebagai ideologi dalam
pendidikan bukan hanya mengandung aspek-aspek rasional tetapi juga mengandung
aspek-aspek emosional yang berarti mengembangkan intelegensi spiritual dan
intelegensi emosional dari peserta didik. Setidaknya ada dua unsur utama yang bisa
dilaksanakan dalam proses pendidikan. Kedua unsur tersebut adalah masyarakat
yang bermoral dan masyarakat yang cerdas.[22]
Sebagai landasan adanya otonomisasi
dan desentralisasi adalah Undang-undang No. 22 Tahun 1999, pasal 7 ayat 1 yang
menegaskan tentang kewenangan pemerintah pusat dan daerah.[23]
F.
Kesimpulan
Politik pendidikan adalah kajian
tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan
cara-cara penyampaiannya. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan khususnya dalam Negara. Pengertian ini merupakan
upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Pendidikan dan politik adalah dua hal
yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek
pendidikan senantiasa mengandung unsur-unsur politik. Begitu juga sebaliknya,
setiap aktifitas politik ada kaitannya dengan aspek-aspek pendidikan.
Sketsa penyelenggaraan pendidikan pasca
kemerdekaan ini dapat dibagi atas bebarapa periode perkembangan, yaitu :
periode Orde Lama yang berlangsung dari tahun 1945 hungga tahun 1966. Pada periode ini kegiatan pendidikan di
tanah air lebih mengarah pada pemantapan nilai–nilai nasionalisme, identitas
bangsa, dan pembangunan fondasi ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara.
Periode selanjutnya adalah periode
Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998. Pada periode ini
pendidikan menjadi instrument pelaksanaan program pembangunan di berbagai
bidang, khususnya bidang pedagogi, kurikulum, organiasi, dan evaluasi
pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena fokus utama pembagunan nasional
pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi.
Periode selanjutnya
adalah periode Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 sampai sekarang. Periode
ini semangat desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh
gerakan reformasi sehingga penataan sistem pendidikan nasional menjadi menu utama. Dengan
menelusuri prinsip–prinsip penerapan yang diatur dalam berbagai peraturan
perundang–undangan terkait.
Agar pelaksanaan desentralisasi
pendidikan dapat efektif, diperlukan unsur poros-poros perumusan desentralisasi
pendidikan yang meliputi: wawaswan nusantara, asas demokrasi, kurikulum, tenaga
kependidikan, PBM, efesiensi, pembiayaan, dan partisipasi. Dengan demikian,
desentralisasi pendidikan dapat terlaksana dengan baik apabila ditunjang oleh
perangkat peraturan perundangan yang memadai, model pelaksanaan yang memberikan
keleluasaan kewenangan dalam proses penetapan managerial pendidikan, serta
adanya dukungan kuat dari partisipasi masyarakat.
Daftar Pustaka
A. Ahmadi, Pendidikan
Dari Masa Ke Masa, Bandung : CV. Armico, 1987.
Abd. Rachman
Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta
: Kurnia Kalam 2005.
Ary H. Gunawan, Kebijakan-kebijakan Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka
Cipta : 1995.
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi,
Jakarta : Kompas, 2002.
H. A. R.
Tilaar, Kekuasaan & Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi
Kultural, Magelang : IndonesiaTera, 2003.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.
Jakara : PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
Mohammad Noor
Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya : Usaha Nasional,
1986.
http://denai.web.id/hakekat-pendidikan/
http://one.indoskripsi.com.
http://re-searchengines.com/art05-73.html,
[1] http://denai.web.id/hakekat-pendidikan/
Diakses pada tanggal 4 November 2009.
[2] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila (Surabaya : Usaha Nasional, 1986), hlm : 218.
[3] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. (Jakara : PT.
RajaGrafindo Persada, 2001), hlm : 121.
[4] Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Kurnia Kalam 2005), hlm. 54. lihat, Ary H.
Gunawan, Kebijakan…, hlm. 31.
[5] Terjadinya instabilitas disebabkan oleh beberapa aspek yaitu, pertama,
upaya belanda untuk menjajah kembali sehingga timbul Agresi Belanda I pada
tanggal 21 Juli 1947 dan agresi Belanda pada tanggal 19 desember 1948; kedua,
secara internal, muncul gerakan yang terjadi di beberapa daerah yang
menimbulkan ketegangan social seperti gerakan Partai Komunis Indonesia di
Madiun (1948), gerakan Darul Islam (1948-1962) di Jawa Barat pimpinan
Kartosuwiryo; ketiga, terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS
1949; keempat, munculnya multipartai dengan ideologi masing-masing; kelima,
pemerintah dihadapkan pada upaya perjanjian perdamaian dan penggantian kerugian
dengan pihak pemerintah jepang dimana hal ini memerlukan waktu yang lama dan
proses yang kompleks. Abd. Rachman Assegaf, "Politik Pendidikan…,"
hlm. 57-58.
[6] A. Ahmadi, Pendidikan Dari Masa Ke Masa (Bandung : CV. Armico,
1987). Hlm : 87.
[7] Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 8 Mei 1889 sebagai
putera KPH. Suryaningrat. Nama aslinya adalah RM. Suwardi Suryaningrat, dan
pada usia 40 tahun beliau berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Beliau
termasuk "Empat Serangkai Pemimpin Putera" bersama Bung Karno, Bung
Hatta dan KH. Mas Mansur. Beliaulah pencipta Perguruan Nasional Taman Siswa
yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922. A. Ahmadi, "Pendidikan…",hlm.
48
[8] A. Ahmadi, "Pendidikan…,"hlm : 74.
[9] Ary H. Gunawan, Kebijakan…, hlm. 29-30.
[10] A. Ahmadi, "Pendidikan…" hlm
: 75, lihat juga, Abd. Rachman Assegaf, "Politik
Pendidikan…" hlm. 65.
[12] Yang dimaksud manusia sosialis Indonesia adalah manusia Indonesia yang
berwatak Manipol. Selengkapnya lihat, Abd. Rachman
Assegaf, "Politik Pendidikan…," hlm. 78-81.
[13] Orde baru adalah sebuah tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan pancasila dan UUD 1945.
lahirnya orde baru merupakan reaksi dan koreksi prinsipil terhadap praktek
penyelewengan yang terjadi pada waktu sebelumnya. Lihat, A. Ahmadi, "Pendidikan..."
hlm. 97
[14] Selengkapnya, lihat; Abd. Rachman Assegaf, "Politik
Pendidikan…," hlm. 84.
[18] Azyumardi Azra, "Paradigma Baru…"
hlm. xv-xvi. Menurut A. Ahmadi bahwa kelemahan sistem
pendidikan pada masa ini hampir terjadi di semua bidang yaitu mengenai masalah
prinsip, tujuan, organisasi sekolah, kurikulum, metode mengajar, evaluasi, anak
didik, pendidik, fasilitas, pembiayaan. Lihat juga, A. Ahmadi, "Pendidikan…" hlm.
154-159.
[19] http://one.indoskripsi.com. Diakses pada tanggal 5
November 2009
[20] Mohammad Noor Syam, "Filsafat Kependidikan…" hlm.
218.
[21] A. Ahmadi, "Pendidikan Dari..."
hlm : 149
[22] Tilaar mendeskripsikan bahwa manusia yang bermoral dan cerdas
bukanlah manusia yang telah tercapai namun yang merupakan potensi-potensi dari
manusia itu sendiri. H. A. R.
Tilaar, Kekuasaan & Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi
Kultural, (Magelang : IndonesiaTera, 2003), hlm. 123.
[23] Azyumardi Azra, "Paradigma Baru…" hlm. 4.
No comments:
Post a Comment