Tuesday, November 1, 2011

PERGOLAKAN PENDIDIKAN NASIONAL "Sketsa Politik Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Sejarah"

Oleh : Ahmad Mustaghfirin

A.    Pendahuluan
Fajar kemerdekaan tiba setelah Jepang – Herosima dan Nagasaki – ditaklukkan (dibom) oleh Amerika dan sekutunya Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu. Bangsa Indonesia mulai mendapatkan angin segar setelah terjadi revolusi nasional yang meletus pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam bentuk “Proklamasi Kemerdekaan”.[1] Kemerdekaan ini mematahkan belenggu penjajahan dan penindasan selama beratahun-tahun lamanya. Hal ini menimbulkan hidup baru di hampir semua sektor. Bukan hanya sektor ekonomi, politik, dan sosial budaya, namun termasuk didalamnya sektor pendidikan,[2] sehinga sangatlah perlu untuk mengubah sistem pendidikan sesuai dengan cita-cita bangsa. Sejak lahirnya kemerdekaan, pendidikan di Indonesia masih mengalami transisi dan benturan yang sangat dahsyat yaitu perang fisik dan non fisik yang ditimbulkan oleh penjajah.  Pendidikan terintervensi oleh kekuatan politik terutama model pendidikan Belanda dan Jepang.
Perkembangan selanjutnya, apa hubungannya dengan pendidikan dalam lintas kekuasaan politik Negara, karena pendidikan sebagai lembaga formal yang di formulasi dalam bentuk kebijakan pemerintah untuk memutuskan keputusan yang mendapatkan keabsahan dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan nasional yang sangat diharapkan. Namun, dalam perkembangannya dunia pendidikan selalu ditopang oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan sehingga melahirkan perubahan baru dalam kebijakan politik pendidikan baik ditingkat pendidikan pusat maupun daerah sehingga lahirlah kebijakan pemerintah baru yang sebut dengan "Otonomi Pendidikan".[3]
Dengan asumsi diatas bahwa pendidikan merupakan hasil kreasi pergulatan politik nasional sepanjang sejarah untuk mewarnai nilai-nilai demokrasi pendidikan masa depan. Politik pendidikan adalah satu rangkaian yang tidak terpisahkan dengan realitas Negara yang berkembang karena Negara bagian dari kontrol perkembangan pendidikan yang harus dijaga dalam perubahan masyarakat, dengan demikian pendidikan merupakan unsur yang sangat beragam dalam memberikan keputusan yang dilakukan oleh kebijakan pemerintah. Bagi penulis yang harus ditekankan disini adalah ringkasan dan gagasan besar mengenai perjalanan pendidikan nasional dalam pergulatan politik kekuasaan Negara yang sangat dominan untuk menentukan proses lembaga pendidikan nasional selanjutnya. Kajian politik pendidikan terkonsentrasi pada peranan Negara dalam bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan asumsi dan maksud dari berbagai strategi perubahan pendidikan dalam suatu masyarakat secara lebih baik.
Tulisan ini untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan politik dan menjelaskan bagaimana hubungan politik dengan pendidikan serta bagaimana sketsa politik pendidikan di Indonesia agar politik pendidikan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kaitan antara berbagai kebutuhan politik Negara dengan isu–isu praktis sehari hari.

B.    Politik dan Pendidikan Nasional
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Dalam pengertian lain, Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun non konstitusional.
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah. Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk lain, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.[1]
Sedangkan politik pendidikan nasional, Mohammad Noor Syam memberikan pengertian bahwa Pendidikan Nasional adalah pelaksanaan pendidikan suatu Negara yang berdasarkan kepada sosio-kultural, sosio-psikologis, sosio-ekonomis, dan sosio-politis.[2] Hal ini diperkuat oleh Hasbullah bahwa, pendidikan nasional merupakan pelaksanaan pendidikan suatu Negara yang berdasarkan kepada sosio cultural, psikologis, ekonomis dan politis.[3] Dengan demikian, pendidikan harus mampu untuk merubah sistem kekuasaan yang berlaku jika sistem itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh rakyat secara umum. Jadi, Politik pendidikan adalah kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan cara–cara penyampaiannya.
C.     Kontrol Negara Terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program – program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatkan output yang diinginkan. Ini yang menjadi salah satu alasan mengapa suatu Negara sangat peduli dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk bidang pendidikan. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu sistem pendidikan yang memiliki kharakteristik, kualitas, arah, dan output yang diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak Negara yang menerapkan control yang sangat ketat terhadap program–program pendidikan, baik yang diselenggarakan sendiri oleh Negara maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Pemerintah adalah bagian dari Negara yang paling kasat mata dan dapat juga menjadi bagian paling penting dan paling aktif dari Negara, tetapi pemerintah bukanlah keseluruhan dari Negara. Negara terdiri dari berbagai institusi yang masing masing memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan kenegaraan.
D.    Pergulatan Politik Pendidikan Nasional Pasca Kemerdekaan
Sejalan dengan pergantian dari waktu ke waktu, sejarah bangsa dan Negara Indonesia Pasca Proklamasi Kemerdekaan, sejarah pendidikan nasional pasca kemerdekaan tidak lepas dari pengaruh kondisi social-politik yang ada.
Sketsa penyelenggaraan pendidikan pasca kemerdekaan ini dapat dibagi atas bebarapa masa (era) perkembangan, yaitu :
  1. Era Orde Lama, dari 1945 sampai 1965.
  2. Era Orde Baru, dari 1966 sampai 1998.
  3. Era Reformasi, dari 1998 sampai sekarang.
  1. Era Orde Lama, 1945 sampai 1966.
Secara garis besar, era orde lama ini dalam kegiatan pendidikan di tanah air lebih mengarah pada pemantapan nilai–nilai nasionalisme, identitas bangsa, dan pembangunan fondasi ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utama pendidikan pada periode ini adalah nation and character building dan kendali utama penyelenggaraan pendidikan nasional dipengang oleh tokoh – tokoh nasionalis.
Transisi kebijakan pendidikan nasional pada masa ini dapat diikuti sesuai dengan peristiwa-peristiwa penting sebagai pengingat,[4] yaitu :
Periode 1945 – 1950
Semangat revolusi sangat dominan pada periode ini. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agusus 1945, maka perubahan yang terjadi tidak hanya pada bidang pemerintahan saja, namun juga dalam bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar yaitu menyangkut kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa yang merdeka. Pada periode ini, bangsa Indonesia segera membentuk dan menunjuk Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Namun pada periode ini masih terjadi instabilitas dikarenakan oleh situasi social-politik yang belum stabil,[5] sehingga peride ini sering terjadi pergantian mentari dan rata-rata kabinet Indonesia berumur antara 7-8 bulan.
Pada periode ini, tujuan pendidikan mengalami perubahan yang signifikan. Setelah bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaan, usaha yang dilakukan adalah membuka sekolah sebanyak-banyaknya dari semua jenis yang ada.[6] Rencana dan upaya untuk meningkatkan pembaharuan pendidikan sebenarnya telah dipersiapkan pada akhir masa penjajahan jepang. Sehingga pada masa pasca kemerdekaan melalui Menteri PP dan K yang pertama KH. Dewantara[7] mengeluarkan intruksi umum kepada lembaga-lembaga sekolah. Intruksi tersebut berupa :
-          Pengibaran Sang Merah Putih tiap hari di halaman sekolah.
-          Melagukan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
-          Menghenikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian “Kimigayo” (lagu kebangsaan Jepang)
-          Menghapuskan pelajaran bahasa Jepang, serta upacara yang berasal dari balatentara jepang.
-          Memberi semangat kebangsaan kepada semua murid.[8]
Upaya ini dinilai belumlah cukup untuk menjawab dan memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia yang haus akan ilmu pengetahuan dan kemajuan. Sehubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi dunia pendidikan saat itu, reformasi pendidikan harus bersifat komprehensif dan menyeluruh, baik pada tingkat konsep maupun penyelenggaraan.
Secara jujur harus diakui bahwa sistem pendidikan kolonial masih berlanjut ke dalam sistem pendidikan nasional dimana pendidikan diberikan hanya sekedar memenuhi hidup. Namun pada periode ini, terdapat aspek positif bagi perkembangan pendidikan nasional. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah :
1.      Berkembangnya bahasa Indonesia secara luas diseluruh wilayah Indonesia. Sebagai contoh adalah banyaknya penterjemahan buku asing ke dalam bahasa Indonesia, pembakuan isilah-istilah.
2.      Latihan fisik dan bela diri mulai dikembangkan.
3.      Tumbuhnya rasa kangen akan kebudayaan bangsa.
4.      Dihilangkannya diskriminasi bagi semua lapisan masyarakat.
5.      Tokoh masyarakat, para pejuang dan ulama’ diserahi jabatan penting dalam kepemimpinan.[9]
Pada periode ini, telah terjadi penyelenggarakan beberapa konggres pendidikan Indonesia : yang pertama diadakan di Solo pada tanggal 4-7 Maret 1947. Kemudian sebagai tindak lanjut dari kongres tersebut dibentuklah Panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran oleh Menteri PP dan K (Mr. Ali Sastroamidjojo) pada tahun 1948 yang diketuai oleh KH. Dewantara. Kemudian juga diadakan Kongres Pendidikan di Yogyakarta pada tahun 1949 juga di ketuai oleh KH. Dewantara dan penulisnya S. Brodjonegoro.[10] Dari hasil kongres tersebut merupakan bahan yang berarti bagi lahirnya Undang-undang tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950 yang pertama.

Periode 1950 – 1959
Periode ini dipandang sebagai fase yang spesifik. Hal ini tidak lain sebabkan oleh faktor sosio-politik yang berpengaruh terhadap situasi pendidikan nasional dari fase sebelumnya. Faktor-faktor[11] yang mempengaruhi adalah; pertama, terjadinya perubahan Negara dari RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menyebabkan Indonesia mempunyai sistem politik yang mapan sehingga Indonesia masuk sebagai anggota dewan PBB yang ke 60, dan pada fase ini pula telah diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955. Kedua,berlakunya sistem politik Demokrasi Liberal/ Parlementer yang berlangsung pada tahun 1951-1959. ketiga, adanya dekrit presiden 1959 dengan Manifesto Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia (yang disingkat Manipol USDEK). Keempat, terbentuknya UUPP No. 4 Tahun 1950 secara regional dan namun baru berlaku pada tahun secara nasional melalui UUPP No. 12 tahun 1954.
Periode 1959 – 1965
Periode ini lebih dikenal dengan periode Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang ditandai dengan berlakunya sistem Demokrasi Terpimpin. Sistem ini menciptakan kondisi politik dimana unsur komunis mendominasi semua bidang. Pada periode ini, muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Mereka lebih banyak masuk dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekatnya.
Dalam pandangan mereka dunia pendidikan tidak menjanjikan segi finansial apapun, non issue, sesuatu hal yang mudah, yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan, digeser ke pinggir. Hal ini bisa dilihat dari animo partai politik terhadap posisi-posisi politis. pada umumnya untuk kementerian Ekonomi, Keuangan, dan Perdagangan, sedangkan kementerian Pendidikan dianggap poisisi kering, sehingga klop kalau dikategorikan sebagai pelengkap atau hiburan yang boleh diambil siapa pun yang berminat. Maka tidak mengherankan bila dalama periode tersebut dunia pendidikan mengalami krisis.
Pada tanggal 5 juli 1959, Presiden mengeluarkan Dekrit yang isinya memperkuat posisi presiden dan melemahkan parpol. Masa ini disebut "Manifesto Politik atau Manipol". Secara ideologis, Manipol bertentangan dengan Pancasila.
Menurut Abd. Rachman Assegaf, setidaknya ada tiga hal pengaruh dari Manipol terhadap pendidikan nasional, yaitu;
1.      Ideologi Manipol diindoktrinasikan kepada seluruh lapisan masyarakat termasuk di semua jenjang pendidikan. Ide manipol ini mengubah corak pendidikan nasional menjadi alat dari ideologi Komunis sehingga yang menyambut baik dengan ideologi ini hanya golongan komunis.
2.      Tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan warga yang sosialis Indonesia yang susila. Jadi, tujuan pendidikan ini menggeser tujuan pendidikan sebelumnya.
3.      Pancasila dan Manipol dijadikan materi pelajaran di Perguruan rendah sampai perguruan tinggi dan pelajaran agama merupakan mata pelajaran "pilihan" (artinya boleh diikuti dan boleh tidak diikuti).[12]
2.      Era Orde Baru 1966 – 1998[13]
Orde baru memberikan corak baru terhadap kebijakan pendidikan agama Islam. Hal ini atas pengaruh dari peralihan komunisme ke arah pemurnian pancasila melalui rencana pembangunan nasional berkelanjutan. Diantaranya yang semula murid berhak tidak ikut pelajaran agama, menjadi semua murid wajib mengikuti pelajaran agama baik dari pendidikan dasar sampai PT.
Orde baru sering diidentikkan dengan masa pembangunan. Hal ini disebabkan dengan strategi politiknya yang ditujukan pada empat tahap yaitu; pertama, penghancuran PKI serta lembaga yang bernuansa PKI dan proses de-Nasakomisasi seluruh kehidupan bangsa; kedua, konsolidasi pemerintahan serta pemurnian pancasila dan UUD 1945; ketiga, menghapuskan dualisme kepemimpinan nasional; keempat, mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan.[14]
Pada periode ini pendidikan menjadi instrument pelaksanaan program pembangunan di berbagai bidang, khususnya bidang pedagogi, kurikulum, organiasi, dan evaluasi pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena fokus utama pembagunan nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan hasil yang sangat membanggakan. Pertumbuhan ekonomi meningkat tajam sebesar 6,8% melebihi rata-rata yang ditetapkan setiap pelita yaitu 5%.[15] Akan tetapi, pembangunan ekonomi berjalan tidak seimbang dengan demokrasi.
Walaupun dalam sektor pendidikan tampil dengan record positif,[16] namun selama lebih dari 32 tahun Orde Baru, persoalan pendidikan tak beranjak dari soal kurikulum, materi pendidikan, guru, biaya pendidikan, saran-prasarana, evaluasi akhir, dan masalah-masalah yang sesungguhnya sejak awal telah menjadi permasalahan yang berlarut-larut, tanpa pernah menyentuh substansi yang sebenarnya.[17]
Taruhlah sekarang ini ada pelaku politik yang mencoba bersuara tentang kebebasan akademik maupun otonomi sekolah dan kampus serta keilmuan pada kenyataannya tak lebih dari sekedar slogan-slogan kosong atau janji-janji politik manis saja. Sangat mudah diucapkan, namun susah dilaksanakan, karena itu semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik. Bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis mereka, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik, lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain; justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain, baik itu dari para pekerja politik, politisi, pengendali pemerintahan, maupun ahli politik.
Jelas sudah bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tidak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu.
Pendidikan nasional pada masa ini masih terlihat sejumlah permasalahan-permasalahan besar yang dihadapi pendidikan kita. Secara garis besar, Azyumardi Azra membagi enam masalah-masalah yang ada pada masa orde baru, yaitu:[18]
Pertama, pendidikan masih terbatas. Meskipun upaya pemerintah pada masa ini telah menerapkan "wajar" (wajib belajar) 9 tahun, namun kesempatan ini belum bisa dinikmati seluruh anak bangsa. karena upaya pemerintah untuk memberikan kesempaan pendidikan hanya terpusat kalangan sekolah negeri yang mendapakan perhatian dan menganak tirikan sekolah (madrasah) swasta;
Kedua, kebijakan pendidikan yang sentralistik. Namun kebijakan tersebut menekankan keseragaman dan secara tidak langsung membatasi ruang gerak untuk mengembangkan pendidikan yang lebih relevan sesuai dengan social budaya, psikologi dan ekonomi.
Ketiga, pendanaan yang masih belum memadai, karena pemerintahan pada masa ini belum menjadikan pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam membangun Indonesia.
Keempat, akuntabilitas yang berkaitan dengan pengembangan dan pemeliharaan sistem dan kualitas pendidikan masih terjadi ketimpangan.
Kelima, profesialisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai. Dari segi kuantitas cukup memadai namun dari segi profesionalisme masih kurang memenuhi harapan.
Keenam, relevansi yang masih timpang dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
3.      Era Reformasi, 1998 – Sekarang
Pada periode ini semangat desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi sehingga penataan sistem pendidikan nasional menjadi menu utama. Dengan menelusuri prinsip–prinsip penerapan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang–undangan terkait.
Penetapan arah kebijakan sektor pendidikan di Indonesia, dilandasi oleh pembaruan kebijakan publik yang memberikan otonomi daerah. Hal tersebut sebagai wujud pelaksanaan tuntutan reformasi yang diawali dari adanya beberapa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan, baik politik, moneter, hankam, dan kebijakan mendasar lainnya. Keinginan pemerintah dalam mengejawantahkan pelaksanaan UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, mengarahkan sektor pendidikan pada desentralisasi kebijakan dengan tingginya partisipasi aktif masyarakat.
Desentralisasi pendidikan mengandung arti sebagai pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada aparat pengelola pendidikan yang ada di daerah baik pada tingkat provinsi maupun lokal, sebagai perpanjangan aparat pusat untuk meningkatkan efesiensi kerja dalam pengelolaan pendidikan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan, mencakup aspek substantif yang meliputi teknis edukatif, personel, finansia, sarana dan prasarana, administratif, dan aspek fungsi manajemen.[19]
Konsep desentralisasi merupakan suatu kerangka kewenangan kebijakan pengelolaan pendidikan yang menggeser paradigma sentralisasi semasa pemerintahan orde baru. Konsep desentralisasi dan sentralisasi mengacu pada sejauh mana wewenang dilimpahkan, dari suatu tingkatan manajemen kepada tingkatan manajemen berikutnya yang berada dibawahnya, atau tetap ditahan pada tingkat puncak (sentralisasi). Manfaat desentralisasi, sama dengan manfaat delegasi, yaitu melepaskan beban manajemen puncak, penyempurnaan pengambilan keputusan, latihan, semangat kerja, dan inisiatif yang lebih baik pada tingkatan yang lebih rendah.
Desentralisasi pendidikan di Indonesia mengacu pada pemberian kewenangan kebijakan dari pemerintah pusat pada pemerintah daerah kabupaten/ kota. Tujuan diberlakukannya desentralisasi adalah terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan dengan tercapainya program wajib belajar 9 tahun, adanya pengembangan keberagaman potensi peserta didik dan lingkungan dalam konteks kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, meningkatnya partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, serta sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih efektif dan efesien. Oleh karena itu, desentralisasi merupakan program peningkatan tanggung jawab yang lebih besar untuk pemerintahan tingkat porfinsi dan kabupaten dalam mencapai tujuan-tujuan Pendididikan Untuk Semua.
Konsekuensi diberlakukannya desentralisasi pendidikan adalah terjadinya peran pendidikan yang berkiblat pada inovasi pemerintah daerah serta partisipasi masyarakat. Sehingga, keberadaan perkembangan pendidikan setiap daerah tentu akan mengalami keberagaman sumber daya, baik dari segi pembiayaan, tenaga kependidikan, kurikulum (lokal), serta mutu yang dihasilkan. Oleh karena itu, konsepsi desentralisasi pendidikan, berdasarkan UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 meliputi dua aspek, yaitu: substantif yang mencakup teknis edukatif, personel, finansial, sarana dan prasarana, serta administratif; dan, fungsi manajemen yang mencakup planning, organizing, actuating, dan controlling. Kedua aspek tersebut pada saat ini diarahkan pada paradigma pendidikan di Indonesia melalui program school based management. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah ini sebagai strategi peningkatan mutu serta efektivitas penyelenggaraan pendidikan yang ditunjang oleh partisipasi aktif masyarakat.
Kendati prinsip desentralisasi tengah dijalankan, seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, namun masih menunjukkan belum maksimalnya sektor pendidikan dalam melaksanakan peranannya bagi keberhasilan program pemerataan kesempatan pendidikan, partisipasi masyarakat, relevansi kurikulum, dan efesiensi serta efektivitas.
Perubahan arah kebijakan pendidikan dari sentralistis ke desentralistis, tidak serta merta dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini dikarenakan memerlukan proses penyesuaian dan persiapan, khususnya aspek kesadaran masyarakat terhadap hasil yang diinginkan. Berbagai fenomena kelemahan dan permasalahan dari bentuk desentralisasi pendidikan di Indonesia dalam hubungannya dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut :
1.  Rentannya kondisi kedaulatan negara, oleh karena adanya kebebasan setiap daerah untuk menentukan komposisi potensi yang dimiliki untuk dijadikan keunggulan dan keandalan pendidikan. Kondisi ini dapat terjadi dari tingginya tingkat egosentris kedaerahan yang membawa sikap primodialisme. Sehingga akan nampak kesenjangan pendidikan dari setiap daerah yang memiliki sumber Pendapatan Asli Daerah yang beragam.
2.  Berkurangnya wibawa pemerintah, khususnya pusat dan provinsi, oleh karena kewenangan terletak pada daerah kabupaten/kota beserta pengelola langsung lembaga pendidikan. Sehingga seringkali membuat suatu kebijakan yang saling berbenturan.
3.    Belum tersedianya perangkat peraturan perundangan yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dalam dunia pendidikan, sehingga menciptakan kondisi miss interpretation.
4.   Prinsip desentralisasi seringkali dipahami sebagai pelepasan tanggung jawab pemerintah pusat pada daerah, sehingga dalam pelaksanaannya dapat membentuk sentralisasi baru pada level kabupaten/kota.

E.    Pendidikan Nasional Menuju Tatanan Indonesia Baru
Setiap Negara yang merdeka terutama pada zaman modern seperti sekarang ini harus menyelenggarakan pendidikan demi cita-cita Nasional Bangsa tersebut. Pendidikan yang berdasarkan falsafah bangsa dan cita-cita nasional itu dikenal sebagai Pendidikan Nasional.[20]
Dewasa ini, bangsa Indonesia telah mengalami transformasi social secara revolusioner, tidak terkecuali pada dunia pendidikan. Dari penglihatan kita, bahwa pendidikan kita telah mengalami beberapa pergantian kebijakan. Hal ini menyebabkan kurang bisa maksimalnya Sistem Pendidikan yang diterapkan.
Permasalahan pendidikan di Indonesia ternyata terdapat perbedaan dari sudut pandang, pengelompokan dan redaksional diantara para ahli. Permasalahan-permasalahan itu harus segera mendapatkan penyelesaian.
Untuk mengatasi berbagai masalah pendidikan dewasa ini agar permasalahan tidak terulang lagi dikemudian hari, maka haruslah dilakukan perencanaan-perencanaan yang matang. Untuk melakukan perencanaan yang matang tersebut, diperlukan pengkajian yang dalam terhadap permasalahannya serta sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.[21]
Pancasila sebagai ideologi dalam pendidikan bukan hanya mengandung aspek-aspek rasional tetapi juga mengandung aspek-aspek emosional yang berarti mengembangkan intelegensi spiritual dan intelegensi emosional dari peserta didik. Setidaknya ada dua unsur utama yang bisa dilaksanakan dalam proses pendidikan. Kedua unsur tersebut adalah masyarakat yang bermoral dan masyarakat yang cerdas.[22]
Sebagai landasan adanya otonomisasi dan desentralisasi adalah Undang-undang No. 22 Tahun 1999, pasal 7 ayat 1 yang menegaskan tentang kewenangan pemerintah pusat dan daerah.[23]
F.     Kesimpulan
Politik pendidikan adalah kajian tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan cara-cara penyampaiannya. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan khususnya dalam Negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur-unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktifitas politik ada kaitannya dengan aspek-aspek pendidikan.
Sketsa penyelenggaraan pendidikan pasca kemerdekaan ini dapat dibagi atas bebarapa periode perkembangan, yaitu : periode Orde Lama yang berlangsung dari tahun 1945 hungga tahun 1966. Pada periode ini kegiatan pendidikan di tanah air lebih mengarah pada pemantapan nilai–nilai nasionalisme, identitas bangsa, dan pembangunan fondasi ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara.
Periode selanjutnya adalah periode Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998. Pada periode ini pendidikan menjadi instrument pelaksanaan program pembangunan di berbagai bidang, khususnya bidang pedagogi, kurikulum, organiasi, dan evaluasi pendidikan diarahkan pada akselerasi pelaksanaan pembangunan. Karena fokus utama pembagunan nasional pada era Orde Baru adalah pada bidang ekonomi.
Periode selanjutnya adalah periode Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 sampai sekarang. Periode ini semangat desentralisasi, demokratisasi, dan globalisasi yang dibawa oleh gerakan reformasi sehingga penataan sistem pendidikan nasional menjadi menu utama. Dengan menelusuri prinsip–prinsip penerapan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang–undangan terkait.
Agar pelaksanaan desentralisasi pendidikan dapat efektif, diperlukan unsur poros-poros perumusan desentralisasi pendidikan yang meliputi: wawaswan nusantara, asas demokrasi, kurikulum, tenaga kependidikan, PBM, efesiensi, pembiayaan, dan partisipasi. Dengan demikian, desentralisasi pendidikan dapat terlaksana dengan baik apabila ditunjang oleh perangkat peraturan perundangan yang memadai, model pelaksanaan yang memberikan keleluasaan kewenangan dalam proses penetapan managerial pendidikan, serta adanya dukungan kuat dari partisipasi masyarakat.



Daftar Pustaka


A. Ahmadi, Pendidikan Dari Masa Ke Masa, Bandung : CV. Armico, 1987.
Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta : Kurnia Kalam 2005.
Ary H. Gunawan, Kebijakan-kebijakan Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta : 1995.
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta : Kompas, 2002.
H. A. R. Tilaar, Kekuasaan & Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, Magelang : IndonesiaTera, 2003.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakara : PT. RajaGrafindo Persada, 2001.
Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya : Usaha Nasional, 1986.
http://denai.web.id/hakekat-pendidikan/  
http://one.indoskripsi.com.  
http://re-searchengines.com/art05-73.html, 

[1] http://denai.web.id/hakekat-pendidikan/ Diakses pada tanggal 4 November 2009.
[2] Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila (Surabaya : Usaha Nasional, 1986), hlm : 218.
[3] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. (Jakara : PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hlm : 121.
[4] Abd. Rachman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta : Kurnia Kalam 2005), hlm. 54. lihat, Ary H. Gunawan, Kebijakan…, hlm. 31.
[5] Terjadinya instabilitas disebabkan oleh beberapa aspek yaitu, pertama, upaya belanda untuk menjajah kembali sehingga timbul Agresi Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947 dan agresi Belanda pada tanggal 19 desember 1948; kedua, secara internal, muncul gerakan yang terjadi di beberapa daerah yang menimbulkan ketegangan social seperti gerakan Partai Komunis Indonesia di Madiun (1948), gerakan Darul Islam (1948-1962) di Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo; ketiga, terjadinya peralihan dari UUD 1945 ke UUD RIS 1949; keempat, munculnya multipartai dengan ideologi masing-masing; kelima, pemerintah dihadapkan pada upaya perjanjian perdamaian dan penggantian kerugian dengan pihak pemerintah jepang dimana hal ini memerlukan waktu yang lama dan proses yang kompleks. Abd. Rachman Assegaf, "Politik Pendidikan…," hlm. 57-58.
[6] A. Ahmadi, Pendidikan Dari Masa Ke Masa (Bandung : CV. Armico, 1987). Hlm : 87.
[7] Ki Hajar Dewantara (1889-1959) dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 8 Mei 1889 sebagai putera KPH. Suryaningrat. Nama aslinya adalah RM. Suwardi Suryaningrat, dan pada usia 40 tahun beliau berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Beliau termasuk "Empat Serangkai Pemimpin Putera" bersama Bung Karno, Bung Hatta dan KH. Mas Mansur. Beliaulah pencipta Perguruan Nasional Taman Siswa yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922. A. Ahmadi, "Pendidikan…",hlm. 48
[8] A. Ahmadi, "Pendidikan…,"hlm : 74.
[9] Ary H. Gunawan, Kebijakan…, hlm. 29-30.
[10] A. Ahmadi, "Pendidikan…" hlm : 75, lihat juga, Abd. Rachman Assegaf, "Politik Pendidikan…" hlm. 65.
[11] Selengkapnya lihat, Abd. Rachman Assegaf, "Politik Pendidikan…," hlm. 65-57.
[12] Yang dimaksud manusia sosialis Indonesia adalah manusia Indonesia yang berwatak Manipol. Selengkapnya lihat, Abd. Rachman Assegaf, "Politik Pendidikan…," hlm. 78-81.
[13] Orde baru adalah sebuah tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan pancasila dan UUD 1945. lahirnya orde baru merupakan reaksi dan koreksi prinsipil terhadap praktek penyelewengan yang terjadi pada waktu sebelumnya. Lihat, A. Ahmadi, "Pendidikan..." hlm. 97
[14] Selengkapnya, lihat; Abd. Rachman Assegaf, "Politik Pendidikan…," hlm. 84.
[15] Ibid., hlm. 87.
[16] Ibid., hlm. 88.
[17] http://re-searchengines.com/art05-73.html, Diakses pada tanggal 2 November 2009
[18] Azyumardi Azra, "Paradigma Baru…" hlm. xv-xvi. Menurut A. Ahmadi bahwa kelemahan sistem pendidikan pada masa ini hampir terjadi di semua bidang yaitu mengenai masalah prinsip, tujuan, organisasi sekolah, kurikulum, metode mengajar, evaluasi, anak didik, pendidik, fasilitas, pembiayaan. Lihat juga,  A. Ahmadi, "Pendidikan…" hlm. 154-159.
[19] http://one.indoskripsi.com. Diakses pada tanggal 5 November 2009
[20] Mohammad Noor Syam, "Filsafat Kependidikan…" hlm. 218.
[21] A. Ahmadi, "Pendidikan Dari..." hlm : 149
[22] Tilaar mendeskripsikan bahwa manusia yang bermoral dan cerdas bukanlah manusia yang telah tercapai namun yang merupakan potensi-potensi dari manusia itu sendiri. H. A. R. Tilaar, Kekuasaan & Pendidikan, Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, (Magelang : IndonesiaTera, 2003), hlm. 123.
[23] Azyumardi Azra, "Paradigma Baru…" hlm. 4.

No comments:

Post a Comment