Wednesday, October 19, 2011

Kaula Alit


Pagi menjelang siang, suasana di dalam sebuah bus umum terasa hening tanpa suara penumpang, mereka seakan menikmati pemandangan alam dari balik jendela bus. Bus tersebut melaju kencang sehingga menambah heningnya  suasana karena para penumpang mungkin merasa takut. Tak lama kemudian, bus tersebut berhenti disebuah terminal. Kontan saja, keheningan suasana bus  pecah oleh hiruk pikuk pedagang asongan, ramai seketika. Berdesak-desakan, tersenggol dengan pedagang lain dan bau keringat merupakan gambaran suasana bus ekonomi. Tak ada ketersinggungan dan kemarahan. Kalau pun ada, terselesaikan dengan senyum keramahan. Perbedaan mencolok antara penumpang resmi, pedagang dan pengamen tak jadi persoalan. Tak jarang ulah para pengamen itu mengundang tawa. Semuanya berjalan secara lumrah dan biasa-biasa saja.
Kondisi ini bagaikan musik alami yang bernuansa jazz yang penuh perbedaan tapi mengasyikkan. Laksana suara gendang yang bertalu-talu tanpa ketukan "palu". Itulah mereka yang jauh berbeda dengan "wakilnya" yang disana.

Mereka tidak terpengaruh oleh ruwetnya masalah yang dibuat oleh wakil mereka di istana merdeka sana. entah apa yang menyebabkan mereka mau menerima perbedaan. Terlalu pandaikah karena sekolah tinggi atau karena kesadaran yang menjiwa atas nama sesama "pencari sesuap nasi". Itulah barang kali suatu kenikmatan yang dirasakannya sehingga tak terusik dan tak tergantikan oleh apa pun termasuk permasalahan yang lagi hangat dibicarakan; kasus Bank Century. Kejujuran dan keseriusan yang melekat dalam benak mereka merupakan spirit dan modal dalam mencari nafkah untuk menanggung keluarga. Apakah aktifitas yang menjadi rutinitas ini merupakan bentuk ketidakpedulian bagi wong cilik yang menyebabkan mereka telah melupakan pertempuran para wakil rakyat. Bisa jadi mereka bosan mendengarkan berita yang bernuansa retorika belaka. Namun aku tak ingin berspekulasi menjawabnya.
Potret diatas merupakan gambaran jelas betapa kondisi ekonomi bangsa ini membutuhkan pahlawan cerdas dengan solusinya. Bukan sebuah retorika yang menceritakan tentang langit yang menjulang melainkan bahasa kearifan tentang bumi yang sarat dengan kemelaratan. Permasalahan yang jelas-jelas nyata terjadi di kalangan kaum pinggiran justru terlupakan oleh penyandang amanah dan bahkan tiada keseriusan dalam penanganannya. Ini ironi. Mereka terjebak oleh permainan politik yang bersifat semu, apalagi pertarungan untuk mencari kemenangan bagi golongannya sendiri. Senyum mengemabang dan kerut keseriusan hanya sekedar mencari acungan jempol belaka untuk merebut hati dan kepercayaan semata. Atau wong cilik ditakdirkan untuk diingat pada masa kampanye dan siap dilupakan dikala uang dalam genggaman.
Yang pasti, bagaimana pun sibuk dan problematiknya kehidupan ini, wong cilik akan terus menjalaninya dengan senyum walau terkadang air mata ikut menghiasi perjalanan sejarahnya. Wong cilik sangat apatis terhadap ketidak jelasan dan kebingungan. Sekali pun demikian, jangan beri mereka kehampaan rasa tapi julurkanlah satu kepastian; damai dan tentram.

No comments:

Post a Comment